Rabu, 26 Agustus 2009

Teror Bom di Indonesia 1999

2 Januari 1999:
Toserba Ramayana, Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah V.M. Rosalin Handayani dan Yan Pieterson Manusama, pengusaha yang dilatar-belakangi motif sengketa pribadi. Bahan peledak bom adalah TNT.

9 Februari 1999:
Mal Kelapa Gading, Jakarta. Siapa pelaku dan apa motif bom yang berbahan peledak TNT itu, tidak diketahui.

15 April 1999:



Plaza Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Pelakunya adalah Ikhwan, Naiman, Edi Taufik, Suhendi, dan Edi Rohadi, anggota kelompok yang disebut-sebut sebagai Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN) pimpinan Eddy Ranto. Motif pemboman adalah kriminal (perampokan). Kelompok AMIN ini juga dituduh meledakkan Istiqlal. Anehnya, dalam kasus ini, motifnya diputuskan sebagai kriminal. Bahan peledak ramuan KCl03 (kalium klorat) dan TNT.




19 April 1999: Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah Eddy Ranto alias Umar, 40 tahun yang juga diduga sebagai otak perampokan Bank BCA Taman Sari, Jakarta dan peledakan satu wartel di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, beberapa pekan sebelumnya. Sayangnya, kasus ini tetap menjadi misterius, lantaran belum tuntas. Bahan peledaknya sama dengan kasus Hayam Wuruk. Bahan peledaknya, TNT (trinitrotoluene) dan KCLO3 (kalium chlorat).



PELAKU PEMBOMAN MASJID ISTIQLAL SEORANG MANTAN TARUNA AKBRI

JAKARTA (SiaR,23/4/99), Aparat menyatakan bahwa Amir alias Edi
Ranto, Ketua Kelompok Angkatan Mujahidin Islam Indonesia (AMIN) adalah
tersangka otak perampokan BCA dikaitkan dengan kasus peledakan Mesjid
Istiqlal (19/4). Sedangkan Gus Dur menduga pembom itu orang bayaran dan
oknum bekas ABRI. Tapi lain lagi dengan temuan SiaR yang menyimpulkan adanya
kemungkinan anak emas Prabowo dari kelompok Tidar.

Hasil investigasi SiaR menunjukkan bahwa pelaku peledakan bom di Masjid
Istiqlal adalah Eddy Prabowo, seorang mantan taruna AKABRI, yang direkrut
Prabowo -mantu mantan Presiden Soeharto-- untuk masuk kelompok Tidar yang
dibentuknya.

Kontroversi siapa pelaku pemboman di Mesjid Istiqlal makin meruncing
setelah POLRI dengan mudahnya melanggar asas praduga tak bersalah, dengan
mengaitkan Amir alias Edi Ranto tersangka pelaku perampokan Bank BCA di
Gang Kancil menjadi tersangka utama satu-satunya pemboman Istiqlal. Bahkan
Kadispen Polri Brigjen Pol Togar Sianipar, Rabu (21/4) kemarin menjelaskan,
bahwa satu dari 10 saksi, mengaku pernah bertemu dengan 2 di antara 4 pelaku
yang diduga melakukan pemboman di Istiqlal. Saksi ini ditemukan polisi pada
Selasa (20/4) malam.

Dengan demikian, sudah ada 2 saksi -- di samping para saksi mata
yang diperkirakan bisa membawa polisi melacak jejak pelaku pemboman di
Istiqlal, demikian tuduh Togar Sianipar.

Dari saksi tersebut diperoleh gambaran atau perkiraan wajah pelaku.
Namun hingga kini belum ada pelaku yang ditangkap aparat. Dua saksi yang
memberikan titik terang ini, berasal dari luar Jakarta. Namun, kata Togar,
saksi ini bukan tersangka. Ia berada di Polda Metro Jaya untuk dimintai
keterangan, dan bukan ditangkap. Dari hasil pengembangan kasus tersebut
sudah diketahui sketsa wajah dari 2 pelaku. Namun, hasil tersebut masih akan
diteliti lagi agar dapat dipastikan kebenarannya. Sedangkan hasil
pemeriksaan atas serpihan bom yang ditemukan di lokasi kejadian, diketahui
bom tersebut adalah bom rakitan yang dibuat orang-orang yang profesional dan
benar-benar mengerti tentang bahan peledak.

Tuduhan bahwa bom rakitan tersebut adalah bom ikan yang banyak
dirakit di Lampung dibantah Kol Syahril Arifin, Wakapolda Lampung (21/4).
Sejumlah media cetak baik pusat maupun daerah terbitan Rabu (21/4) mensitir
informasi bahwa polisi menduga pemboman perkantoran Masjid Istiqlal itu
memiliki benang merah dengan ledakan di Hayam Wuruk Plaza sebelumnya. Dalam
bantahannya, Syahril Arifin mengatakan jenis bom rakitan sendiri seperti
dari bahan lactosin lalu dicampur mesiu dan diberi detonator, sebetulnya
bisa dibuat siapa saja dan bahannya antara lain ada di apotik, karena bahan
itu biasa digunakan untuk keperluan medis. "Orang apotik bisa, kita pun
semua bisa, tetapi apakah itu, ini yang masih diselidiki," katanya.

Bahkan Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol)Noegroho Djajoesman (23/4)
memperkuat dengan mengatakan bahan dasar bom tersebut dari TNT
(Trinitrotuluene) dengan pemicu peledaknya KC103 (kalium chlorat ). Bahan
bahan tersebut hanya dimiliki instansi militer atau perusahaan pertambangan
(yang memiliki ijin khusus) dan tidak beredar di pasaran bebas. Tentang
kemungkinan oknum TNI atau bekas anggota TNI yang diduga terlibat, Noegroho
menyatakan, sebaiknya jangan terlalu dini menuduh tanpa disertai bukti dan
fakta yang kuat.

Namun Sementara itu pengamat politik Prof Dr M Budyatna mendesak aparat
keamanan menindaklanjuti pernyataan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tentang adanya indikasi konspirasi teroris bayaran dengan orang
profesional dan terlatih untuk membom sejumlah ruangan di Mesjid Istiqlal.
Statemen yang dikeluarkan Gus Dur "Pelakunya adalah teroris bayaran pihak
tertentu untuk menggagalkan Pemilu 1999. Mereka adalah orang-orang yang
istilahnya massa mengambang. Mereka bekas ABRI yang saat ini sudah tidak di
dalam struktur lagi," kata Gus Dur di Jakarta, Selasa (20/4).

Pada hari yang sama, televisi swasta SCTV dalam dua kali siaran
beritanya mewawancarai seorang ahli bom, namun tidak disebutkan nama dan
identitasnya demi keselamatan. Ahli bom itu mengungkapkan bahwa pemboman
dilakukan oleh orang-orang profesional. Bahan bom tidak ada di pasaran,
sedangkan perakitannya kemungkinan besar tidak dilakukan oleh orang sipil.

"Ini beda dengan ledakan bom ikan. Berapa sih kekuatan bom ikan?"
katanya. Menurutnya, kemungkinan selain mendapat tawaran untuk membom tempat
tertentu, kelompok ini juga menawarkan jasanya.

Berangkat dari pernyataan Gus Dur dan ahli bom tersebut, sketsa yang
disebarkan aparat keamanan mirip dengan seorang anak buah Prabowo yang
bernama Eddy Prabowo. Menurut sebuah sumber SiaR, Eddy Prabowo adalah
seorang mantan Taruna AKABRI yang dikeluarkan karena terlibat penganiayaan
berat terhadap seniornya. Setelah keluar ia langsung direkrut Prabowo dalam
Kelompok Tidar. Setelah itu ia disekolahkan khusus anti-teror di luar
negeri. Konon Eddy sempat dibiayai kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas
Prof. Dr Moestopo di Jakarta. Anak Emas Prabowo ini diperbolehkan tinggal di
bekas rumah tempat tinggal dan bahkan menempati kamar bekas Prabowo di Jl
Wijaya IX, didaerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dugaan Gus Dur bahwa pembom Mesjid Istiqlal ini seorang oknum mantan
ABRI, boleh jadi benar karena Eddy yang selanjutnya dipercaya menjadi Wakil
Ketua Satria Muda Indonesia (SMI) itu adalah seorang ahli beladiri dan
penggunaan senjata api. SMI adalah Perguruan Silat yang dibentuk Prabowo
untuk melatih sejumlah jagoan silat dan preman jadi pasukan paramiliter.

Menurut sumber SiaR yang dekat Eddy, dikatakan ia juga ahli beladiri
tangan kosong yang mematikan. Sumber tersebut mengungkapkan bahkan di kamarnya
ia mempunyai senjata api dan baju seragam tentara hitam hitam tanpa tanda
pengenal yang mirip dengan pasukan siluman yang saat Kerusuhan Mei 98 banyak
terlihat. Ia juga diberi fasilitas latihan menembak 2 kali seminggu di Markas
KOPASSUS, Cijantung saat kelompok Prabowo masih berkuasa.

Setelah Mei 1998 Prabowo digeser, beberapa sumber mengatakan, Eddy
bergabung dengan kelompok Cikarang, yaitu kelompok mantan pasukan elit yang
sakit hati pada ABRI di bawah pimpinan Wiranto. Tampaknya kecurigaan beberapa
kalangan seperti Prof.Dr Budyatna agar aparat jangan cuma mengkambing-hitamkan
seseorang memang beralasan, karena Polri sendiri belum berani menyidik dan
memeriksa milisi-milisi seperti kelompok Cikarang ini.

Budyatna menyebutkan, bahwa penyebutan gerakan AMIN merupakan bagian
dari rekayasa aparat keamanan untuk mengalihkan dari pelaku pemboman
sesungguhnya. Hal ini seperti pada kasus serupa pada 1980-an, ketika terjadi
Kasus Cicendo, pembajakan pesawat Woyla, dan pemboman Borobodur. Saat itu
pemerintah dengan cepat menuding para pelakunya berasal dari kelompok Islam
fundamentalis atau ekstrem kanan. Padahal, berbagai kelompok Islam itu merupakan
bagian dari pengkambing-hitaman proyek operasi khusus (opsus)-nya Ali Moertopo
dan Benny Moerdani. Karena yang berada di balik pemboman dan pembajakan itu
adalah gerakan opsus itu sendiri.

Kelompok Tidar sendiri adalah merupakan kelompok yang terdiri atas
mantan taruna Akmil Magelang yang "tidak sempat" diwisuda. Mereka biasanya
dipecat sebagai taruna lantaran terlibat kasus kriminal semacam pembunuhan,
penganiayaan atau menghamili gadis baik-baik. Di jaman Prabowo Subianto jadi
Danjen Kopassus, para "mantan" ini direkrut menjadi sebuah satuan khusus
yang beroperasi di bawah kendali Baret Merah. Mereka siap melakukan operasi
kotor yang tak mungkin dilakukan satuan Baret Merah, seperti halnya
keterlibatan mereka dalam Kerusuhan Mei 1988.***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html





Bom Malam Natal dan Sinyal Menko Polkam

________________________________________

Malam Natal 2000 berubah menjadi malam teror. Sedikitnya 38 bom meledak di 11 kota. Sejumlah gereja porak-poranda. Darah berceceran di mana-mana. Jerit tangis ibu-ibu dan anaknya menghentikan suasana hening saat doa memuliakan Allah.
Laporan resmi menyebut sedikitnya 20 orang tewas, 35 luka berat, dan 48 cedera ringan. Peristiwa ini mengejutkan masyarakat Indonesia maupun internasional. Rumah Allah tidak lagi dihormati, bahkan dijadikan target kekerasan.
Tragedi malam Natal sempat berubah menjadi misteri akibat lemahnya pengetahuan kita mengenai aksi terorisme. Opini publik, termasuk pejabat negara dan aparat keamanan, hanya mampu mengarah sebatas kecurigaan pada Soeharto, sisa Orde baru, atau TNI yang akrab dalam permainan intelijen.
Tapi, apakah benar demikian?
***
Persoalannya adalah minimnya pemahaman mengenai terorisme, teroris, dan teror. Konsep, teori, dan model yang digunakan bagi pendekatan persoalan ini masih mengacu pada tahun 1970-an. Padahal, selama kurun waktu 1970-an hingga sekarang telah terjadi perubahan drastis dalam visi, target, metode, dan bentuk-bentuk organisasi teroris.
Dalam kasus bom Natal, misalnya, pejabat tinggi negara maupun mereka yang terkait dalam masalah keamanan, membantah peristiwa ini terkait dengan jaringan teroris internasional. Sikap demikian bergeming kendati Dedi Mulyadi, veteran perang Afganistan, ditangkap polisi di Pangandaran, Jawa Barat.
Dalam pemeriksaan ia mengaku, perencana dan donatur serangan bom di Bandung, Sukabumi, dan Pangandaran adalah Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Hambali. Untuk pertama kalinya nama Hambali muncul dan dikenal dari pengakuan Dedi.
Demikian pula ketika polisi menangkap Taufiq bin Abdul Halim (27) alias Dodi Mulia, alias Doni, alias Yudi Mulya Purnomo, alias Dani, warga Malaysia, dalam kasus pengeboman Atrium Senen, Jakarta Pusat, 1 Agustus 2001. Sama seperti Dedi, Dani ditangkap karena faktor kebetulan. Bom yang disiapkan meledak secara premature.
Dalam perspektif pejabat, aksi kekerasan dikategorikan sebagai teror jika ada kelompok mengaku bertanggung jawab. Sebab, terorisme bukan peristiwa yang lepas seperti gas di udara, tapi menkomunikasikan keinginan dan tuntutan teroris. Dalam kasus bom Natal dan rangkaian serangan bom berikutnya, tidak ada satu pun kelompok yang merilis tanggung jawab itu.
Itu sebabnya kebingungan dan keragu-raguan kerap muncul dalam setiap pernyataan pejabat, berkaitan dengan peristiwa kekerasan di Indonesia. Contohnya saja, nama Hambali baru diajukan agar dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol setelah terjadinya peristiwa 11 September di AS, atau 10 bulan setelah bom Natal.
Sebaliknya, kelompok radikal sangat memahami persoalan ini. Mereka bahkan memanfaatkannya dengan mendukung "kebingungan" itu melalui kampanye propaganda di berbagai media massa. Mereka yang bergerak di luar jalur ini segera dijadikan bulan-bulanan kritik dan cercaan, baik melalui media massa maupun unjuk rasa.
Jika dirunut ke belakang, akan makin jelas tampak bagaimana peristiwa kasat mata itu "disulap" menjadi mirip benang kusut.
***
Sebelum terjadinya serangan bom malam Natal, rangkaian ledakan bom dan granat terjadi di beberapa kota. Hanya berselang empat hari setelah bom mengguncang Plaza Hayam Wuruk, Jakarta Pusat (15/4 - 1999), misalnya, satu ledakan keras memorak-porandakan ruang perkantoran di Kompleks Masjid Istiqlal Jakarta. Bom ini disebut-sebut berdaya ledak tinggi hingga memorak-porandakan sejumlah ruangan perkantoran di situ.
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Sedang pelakunya hingga sekarang masih misterius. Sebanyak 13 orang yang ditangkap Polri dan diproses secara hukum, akhirnya bebas oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, 5 Januari 2000. Polisi menangkap mereka karena diduga terlibat dalam peledakan Plaza Hayam Wuruk, perampokan kantor cabang BCA, dan terkait dengan peledakan bom di Istiqlal. Perampokan BCA hampir bersamaan dengan peledakan di Plaza Hayam Wuruk. Lokasinya juga berdekatan.
Pada waktu itu polisi menyebut, mereka itulah pelakunya dan tergabung dalam AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara). Kelompok ini aktif melakukan latihan militer di Desa Maseng, Caringin, Kabupaten Bogor. Tapi sebaliknya, tokoh partai poltik maupun aktivis organisasi agama balik menuding Polri melakukan rekayasa.
Menurut mereka, pernyataan Polri menyudutkan agama Islam. Sebab, dalam daftar organisasi yang melakukan aksi makar, nama AMIN tidak pernah tercatat atau terdengar. Mereka juga mencurigai 13 tersangka sebagai korban salah tangkap, karena umumnya hidup melarat dan mencari nafkah dengan berjualan keripik singkong dan kerupuk. Warga seperti ini jelas tidak punya uang untuk membeli bahan peledak.
Reaksi yang sama juga terjadi ketika Polri berhasil menangkap Tazul Arifin alias Sabar (34), pelaku pembacokan Ketua PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Matori Abdul Jalil. Sedang rekannya, Tarmo alias Sarmo, tewas dikeroyok massa. Peristiwa ini terjadi di rumah Matori, Jalan Elang Emas Blok C-7/12, Kelurahan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, 5 Maret 2000, atau 11 bulan setelah pengeboman di Istiqlal.
Dalam pemeriksaan, Sabar mengaku melaksanakan perintah Zulfikar, pimpinan kelompok pengajian 12 orang. Setiap Sabtu dan Minggu, mereka melakukan pengajian di salah satu masjid di daerah Kapuk, Cengkareng. Mereka adalah anggota AMIN. Tapi, lagi-lagi media massa menyebutnya sebagai hasil imajinasi Polri.
Polri sendiri tidak terlalu menanggapi tudingan tersebut, termasuk dalam kasus-kasus berikutnya. Bahkan sebaliknya, Polri terseret arus opini yang terbentuk ketika itu. Situasi politik yang memanas mulai merembes dalam jajaran instansi penegak hukum ini. Keadaannya makin parah lagi setelah pergantian Kepala Polri Rusdiharjo. Polri malah menjadi ujung tombak para elite politik untuk mendongkel Presiden Abdurrahman Wahid.
Kalaupun kemudian Polri berhasil menangkap pelaku, lebih baik memilih jalan aman dengan menghindar menyebut nama kelompok tersangka terkait dengan agama. Tapi, di kalangan masyarakat hal ini melahirkan berbagai spekulasi.
Salah satu yang paling menonjol, terbentuknya opini bahwa dalang peristiwa peledakan bom adalah Soeharto, sisa Orde Baru, atau TNI. Akibat psikologisnya, masyarakat menjadi apatis dan maklum jika pelaku tidak tertangkap. Atau kalau tertangkap, sosoknya aneh-aneh, termasuk penjual keripik singkong.
***
Pertengahan April 2002, Polri menangkap 13 orang di Desa Saketi, Pandeglang, Provinsi Banten. Mereka aktif melakukan latihan militer di daerah itu. Polisi menyita 9 pucuk senjata api, 7 di antaranya laras panjang. Informasi mengenai kamp latihan ini diperoleh dari Dani, tersangka peledakan bom di Plaza Atrium Senen, Gereja Santa Anna di Kali Malang, dan Gereja HKBP Klender.
Identitas dan peran Dani sendiri waktu itu masih simpang-siur. Malah ada indikasi mengaitkannya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, setelah Menteri Luar Negeri Malaysia membeberkan kepada pers setempat mengenai 10 anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia (KKM) yang melarikan diri ke Indonesia, satu di antaranya Dani, barulah persoalannya menjadi jelas.
Syahrani alias Zia, salah satu di antara 13 orang yang ditangkap di Saketi, adalah warga negara Malaysia. Dani dan Syahrani adalah buronan Polisi Diraja Malaysia dengan tuduhan makar. Keduanya diancam hukuman mati. Syahrani sudah diekstradisikan ke negaranya.
Sebelumnya, atau tepatnya 15 Januari lalu, polisi Filipina menangkap Fathur Rohman Al-Ghozi (32), warga Indonesia asal Madiun (Jawa Timur). Ia dituduh sebagai anggota JI (Jemaah Islamiyah) dan terlibat serangan bom di stasiun kereta api Manila, 30 Desember 2000. Di rumahnya di kawasan Quiapo, Manila, polisi menemukan 17 pucuk senjata M-16, 1 ton bahan peledak, dan sejumlah peralatan lainnya.
Dalam sidang pengadilan, Al-Ghozi mengaku menjalankan perintah Hambali. Peristiwa serangan bom itu, sepekan setelah bom malam Natal di Indonesia, menewaskan 23 orang dan l00 orang dilarikan ke rumah sakit.
Al-Ghozi, alias Rony Asad bin Ahmad, alias Sammy Sali Jamil, tinggal di Mindanao Selatan, Filipina, sejak tahun 1995. Atau setelah usai mengikuti pendidikan agama di Pakistan dan latihan militer di Afganistan. Ia dikabarkan berulang kali masuk ke Indonesia dan ikut mendirikan AMIN.
***
Tanggal 26 Juni 2002, usai mengikuti rapat koordinasi khusus dengan gubernur, Kepala Polda, dan Kajati se-Jawa, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kepada pers, ada kelompok sipil yang mengadakan latihan militer dengan menggunakan senjata standar TNI di luar Jakarta. Ia minta pemerintah daerah meningkatkan kewaspadaan agar konflik politik di daerah tidak meluas menjadi konflik sosial.
Menko Polkam menjelaskan, informasi tersebut diperoleh dari Kepala Polda Metro Jaya dalam rapat tersebut. Tapi anehnya, setelah esoknya berita itu dimuat di halaman depan berbagai media, hari berikutnya muncul pernyataan Polri bahwa informasi yang disampaikan Menko Polkam adalah peristiwa lama.
Tanpa merinci apa yang dimaksud peristiwa lama, tapi jelas adalah penggerebekan dan penangkapan 13 orang yang dilakukan Polri di Desa Saketi, Pandeglang, pertengahan April 2002. Dalam penjelasannya pihak Polri mengatakan, tempat latihan militer itu tetap diawasi.
Ketika terjadi ledakan bom di Kuta, Bali, yang menewaskan 180 orang lebih tanggal 12 Oktober, dan kemudian diikuti pengejaran Imam Samudra, semua mata hanya tertuju pada proses pengejaran dan penangkapan. Demikian pula ketika Imam Samudra "menyanyi" membuka jaringannya, kelompok Serang, dan keterlibatan kelompok ini dalam berbagai pengeboman, dan perampokan.
Popularitas Imam Samudra jauh mengalahkan bosnya, Muklas. Ia menjadi selebriti. Pengakuannya selalu menghiasi halaman depan media massa di dalam maupun luar negeri. Bom bunuh diri yang menghebohkan, muncul dari pengakuan Imam Samudra.
Di semua kota hingga sudut-sudut pedesaan masyarakat bergerombol di depan televisi, mendengar kabar dan menyaksikan lanjutan penangkapan dan pemeriksaan Imam Samudra. Pengejarannya sendiri cukup menegangkan. Apalagi sebelum Amrozi tertangkap, Polri berulang kali salah tangkap, termasuk seorang pria kurang waras.
***
AKAN tetapi, dari semua peristiwa yang berlangsung dengan antiklimaks mirip happy ending dalam sinetron itu, tidak satu pun mempertanyakan tindak lanjut sinyal yang disampaikan Menko Polkam dalam jumpa pers Juni lalu. Padahal, dari sudut intelijen, sinyal tersebut sangat spesifik karena menyebut lokasi dan sedang berlangsungnya aktivitas, yakni kelompok Serang atau juga disebut kelompok Palem, basis jaringan Imam Samudra.
Seandainya aparat keamanan cepat merespons sinyal tersebut, akan terungkap jaringan teroris yang selama ini menghantui masyarakat. Bahkan, barangkali peristiwa bom di Kuta dapat dicegah.
Kamp itu sendiri jelas diketahui polisi terkait dengan jaringan teroris internasional. Seperti diakui Bahrul Alam dalam penggerebekan sebelumnya, anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia ikut terjaring dan diproses secara hukum. Mereka terlibat bom malam Natal, Plaza Atrium Senen, Gereja Santa Ana, dan HKBP Klender. (Sinar Harapan, 27/6-2002)
KMM dibentuk aktivis agama asal Indonesia, termasuk Hambali, dan sejumlah rekannya, alumni Afganistan asal Malaysia. Tujuannya melakukan teror dan pengumpulan dana melalui kekerasan, termasuk perampokan bank. Di Indonesia, dibentuk AMIN, yang fungsinya kurang lebih sama dengan KMM.
Tadinya tempat latihan itu berada di Desa Maseng, Kabupaten Bogor. Namun, setelah heboh pengeboman Plaza Hayam Wuruk, perampokan BCA, pengeboman Istiqlal, hingga pembacokan Matori Abdul Jalil, tempat latihan dipindahkan ke Pandeglang. Baik AMIN maupun KMM adalah sayap militer JI di masing-masing negara.
Lantas apa yang membuat Polri enggan bertindak?
Kita tidak mengatakan Indonesia telah bergeser mengikuti Pakistan. Yakni kalangan militer dan intelijen aktif mensponsori kelompok radikal dan terorisme, serta membangun jaringan internasional. Tapi, ini adalah kesalahan almarhum Presiden Zia Ul Haq dengan ambisinya membangun Front Islam Internasional.
Di Indonesia, masyarakat awam mungkin hanya akan mengatakan, ada kekuatan besar melindungi kelompok yang melakukan latihan militer itu hingga Polri takut bertindak. Seperti halnya kamp latihan militer di Poso, yang sempat dihebohkan.
Namun yang pasti, kedua kamp ini telah melahirkan banyak perakit-perakit bom andal. Maka, selama semua ini belum terungkap tuntas, setiap saat peristiwa Kuta dapat berulang kembali dan membinasakan siapa saja. (Maruli Tobing)
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0212/15/utama/bomm01.htm






1 Komentar:

Blogger PAK KARDI mengatakan...

JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT




JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT




JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT

9 Maret 2014 pukul 05.42  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda