Rabu, 26 Agustus 2009

Bom Bali I (Tahun 2002)

BOM Bali I

Dua bom berkekuatan dasyat telah mengguncang Bali pada 12 Oktober 2002. Lebih dari 200 orang tewas akibat peristiwa tragis itu. Tak cuma itu, lebih dari 200 orang lainnya luka-luka baik ringan maupun parah.

Jika dihitung-hitung, bom yang meledak di dua tempat hiburan di Jalan Legian, Kuta, Bali itu tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari setelah bom yang mengguncang World Trade Center (WTC) Amerika Serikat. Tak cuma warga di Indonesia, dunia pun bergetar mendengar kabar ini.

Berikut kronologi peristiwa bom yang mengguncang dunia itu:

12 Oktober 2002

Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali diguncang bom. Dua bom meleda dalam waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05 Wita. Lebih dari 200 orang menjadi korban tewas keganasan bom itu, sedangkan 200 lebih lainnya luka berat maupun ringan.


Kurang lebih 10 menit kemudian, ledakan kembali mengguncang Bali. Pada pukul 23.15 Wita, bom meledak di Renon, berdekatan dengan kantor Konsulat Amerika Serikat. Namun tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.

16 Oktober 2002

Pemeriksaan saksi untuk kasus terorisme itu mulai dilakukan. Lebih dari 50 orang telah dimintai keterangan di Polda Bali. Untuk membantu Polri, Tim Forensik Australia (asal kebanyakan turis yang menjadi korban) ikut diterjunkan untuk identifikasi jenazah.

20 Oktober 2002

Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom di Paddy's Pub berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot antara 50-150 kg. Sementara bom di dekat konsulat Amerika Serikat menggunakan jenis TNT berbobot kecil yakni 0,5 kg.

29 Oktober 2002

Pemerintah yang saat itu dipegang oleh Megawati Soekarnoputri terus mendesak polisi untuk menuntaskan kasus yang mencoreng nama Indonesia itu. Putri Soekarno itu memberi deadline, kasus harus tuntas pada November 2002.

30 Oktober 2002

Titik terang pelaku bom Bali I mulai muncul. Tiga sketsa wajah tersangka pengebom itu dipublikasikan.

4 November 2002

Polisi mulai menunjukkan prestasinya. Nama dan identitas tersangka telah dikantongi petugas. Tak cuma itu, polisi juga mengklaim telah mengetahui persembunyian para tersangka. Mereka tidak tinggal bersama namun masih di Indonesia.

5 November 2002

Salah satu tersangka kunci ditangkap. Amrozi bin Nurhasyim ditangkap di rumahnya di di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur.

6 November 2002

10 Orang yang diduga terkait ditangkap di sejumlah tempat di Pulau Jawa. Hari itu juga, Amrozi diterbangkan ke Bali dan pukul 20.52 WIB, Amrozy tiba di Bandara Ngurah Rai.

7 November 2002

Satu sketsa wajah kembali dipublikasikan. Sementara itu Abu Bakar Ba'asyir yang disebut-sebut punya hubungan dengan Amrozi membantah. Ba'asyir menilai pengakuan Amrozi saat diperiksa di Polda Jatim merupakan rekayasa pemerintah dan Mabes Polri yang mendapat tekanan dari Amerika Serikat.

8 November 2002

Status Amrozi dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam tindak pidana terorisme.

9 November 2002

Tim forensik menemukan residu bahan-bahan yang identik dengan unsur bahan peledak di TKP. Sementara Jenderal Da'i Bachtiar, Kapolri pada saat itu mengatakan kesaksian Omar Al-Farouq tentang keterlibatan Ustad Abu Bakar Ba'asyir dan Amrozi dalam kasus bom valid.

10 November 2002

Amrozi membeberkan lima orang yang menjadi tim inti peledakan. Ali Imron, Ali Fauzi, Qomaruddin adalah eksekutor di Sari Club dan Paddy's. Sementara M Gufron dan Mubarok menjadi orang yang membantu mempersiapkan peledakan. Polisi pun memburu Muhammad Gufron (kakak Amrozi), Ali Imron (adik Amrozi), dan Ari Fauzi (saudara lain dari ibu kandung Amrozi). Kakak tiri Amrozi, Tafsir. Tafsir dianggap tahu seluk-beluk mobil Mitsubishi L-300 dan meminjamkan rumahnya untuk dipakai Amrozi sebagai bengkel.

11 November 2002

Tim gabungan menangkap Qomaruddin, petugas kehutanan yang juga teman dekat Amrozi di Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Qomaruddin diduga ikut membantu meracik bahan peledak untuk dijadikan bom.

17 November 2002

Imam Samudra, Idris dan Dulmatin diduga merupakan perajik bom Bali I. Bersama Ali Imron, Umar alias Wayan, dan Umar alias Patek, merekapun ditetapkan sebagai tersangka.

26 November 2002

Imam Samudra, satu lagi tersangka bom Bali, ditangkap di dalam bus Kurnia di kapal Pelabuhan Merak. Rupanya dia hendak melarikan diri ke Sumatera.

1 Desember 2002

Tim Investigasi Bom Bali I berhasil mengungkap mastermind bom Bali yang jumlahnya empat orang, satu di antaranya anggota Jamaah Islamiah (JI).

3 Desember 2002

Ali Gufron alias Muklas (kakak Amrozi) ditangkap di Klaten, Jawa Tengah.

4 Desember 2002

Sejumlah tersangka bom Bali I ditangkap di Klaten, Solo, Jawa Tengah, di antaranya Ali Imron (adik Amrozi), Rahmat, dan Hermiyanto. Sejumlah wanita yang diduga istri tersangka juga ditangkap.

16 Desember 2002

Polisi menangkap anak Ashuri, Atang, yang masih siswa SMU di Lamongan. Tim juga berhasil menemukan 20 dus yang berisi bahan kimia jenis potassium klorat seberat satu ton di rumah kosong milik Ashuri di Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Lamongan yang diduga milik Amrozi.

18 Desember 2002

Tim Investigasi Gabungan Polri-polisi Australia membuka dan membeberkan Dokumen Solo, sebuah dokumen yang dimiliki Ali Gufron. Dalam dokumen tersebut berisi tata cara membuat senjata, racun, dan merakit bom. Dokumen itu juga memuat buku-buku tentang Jamaah Islamiah (JI) dan topografi suatu daerah serta sejumlah rencana aksi yang akan dilakukannya.

6 Januari 2003

Berkas perkara Amrozi diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi Bali.

16 Januari 2003

Ali Imron bersama 14 tersangka yang ditangkap di Samarinda tiba di Bali.

8 Februari 2003

Rekonstruksi bom Bali I

12 Mei 2003

Sidang pertama terhadap tersangka Amrozi.

2 Juni 2003

Imam Samudra mulai diadili.

30 Juni 2003

Amrozi dituntut hukuman mati

7 Juli 2003

Amrozi divonis mati

28 Juli 2003

Imam Samudra dituntut hukuman mati.

10 September 2003

Imam Samudra divonis mati.

28 Agustus 2003

Ali Gufron alias Muklas dituntut hukuman mati

2 Oktober 2003

Ali Gufron divonis mati.

30 Januari 2007

PK pertama Amrozi cs ditolak

30 Januari 2008

PK kedua diajukan dan ditolak

1 Mei 2008

PK ketiga diajukan dan kembali ditolak

21 Oktober 2008

MK tolak uji materi terhadap UU Nomor 2/Pnps/1964 soal tata cara eksekusi mati yang diajukan Amrozi cs.

9 November 2008

Amrozi cs dieksekusi mati di Nusakambangan.


Kejadian ini terjadi tepat setahun sebulan dan sehari setelah tragedi runtuhnya Gedung WTC di Amerika pada tanggal 11 september 2001.


Kesan Negatif Pengusutan Bom Bali

AK lebih dari sebulan, polisi sudah mengungkap jaringan teroris pelaku peledakan bom di Legian, Kuta, Bali. Padahal, dua minggu sebelumnya, polisi masih berkutat pada ketidakjelasan. Amrozi (35 tahun), warga Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, ditangkap dan ditetapkan sebagai salah seorang tersangka pelaku peledakan. Walaupun wajahnya tak mirip sketsa tersangka yang disebar polisi, pria yang pendidikannya cuma sampai kelas 3 SLTP itu oleh polisi dijadikan tokoh kunci peledakan bom di Bali.

Banyak pihak memuji dan memberi acungan jempol atas kesigapan polisi. Namun tak sedikit yang meragukan kesahihan dan objektivitas temuan Tim Investigasi Bom Bali. Mantan Kepala Bakin ZA Maulani menyatakan, perakitan bom itu tidak mungkin dilakukan di Indonesia. "Teman-teman saya yang sarjana kimia saja tidak bisa buat bom sedahsyat itu," katanya.

Keraguan serupa juga diungkapkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, Ketua MPR Amien Rais, dan pengamat intelijen juga mantan staf Bakin Soeripto. KSAD secara tegas menyatakan tak percaya bom bali hasil rakitan Amrozi. "Kami saja belum memiliki kemampuan memproduksi bahan peledak secanggih itu. Bom yang meledak di Bali begitu dahsyat, saya yakin itu dari luar negeri," tegas Ryamizard (Suara Merdeka, 13/11/2002).

Keraguan, bahkan juga kecurigaan, terhadap proses pengungkapan bom Bali sebenarnya sudah muncul sejak awal tragedi yang menewaskan ratusan orang dan ratusan luka-luka itu. Respon negatif beberapa kalangan itu dikarenakan adanya kesan negatif dari proses dan arah pengusutan. Bahkan mereka curiga ada rekayasa dan skenario global untuk menyudutkan kelompok tertentu.

Setidaknya, ada tiga kesan negatif yang mengemuka, yang bersangkut paut satu sama lain. Pertama, adanya tekanan asing, khususnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, dalam pengungkapan bom Bali. Kesan ini bukan tanpa alasan. Belum lagi penyelidikan dilakukan bahkan Tim Investigasi Bom Bali pun belum terbentuk, Presiden AS George Walker Bush dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer langsung menuding Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyyah sebagai pelaku bom Bali. Kesan ini makin kuat ketika tuduhan itu langsung diamini pejabat RI Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil. Menhan menilai pelaku bom Bali adalah Al-Qaidah domestik.

Sekedar mengingatkan, sampai detik ini, tak ada bukti keterlibatan Al-Qaidah dalam peledakan gedung WTC. Direktur FBI Robert Muller pernah mengaku tak menemukan selembar pun bukti yang memberi indikasi Usamah dan Al-Qaidah terlibat. Sehingga pernyataan bahwa Al-Qaidah dan Usamah itu teroris hanyalah tuduhan tanpa bukti dan proses pengadilan, yang merupakan rekayasa AS untuk misi tersembunyi. Bahkan karena merasa tuduhannya lemah, Presiden Bush belakangan punya tuduhan baru bahwa pelaku tragedi WTC adalah teroris Irak. (Republika, 10/11/2002)

Kesan pertama ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan AS-lah dalang bom Bali. Pemerintah AS kecewa karena pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Megawati, paling lemah dalam mata rantai global melawan terorisme yang dimotori AS dan sekutunya. Pemerintah Singapura, Filipina dan Malaysia sebagai negara tetangga Indonesia dianggap telah cukup serius berusaha menangkap sejumlah tersangka teror, bahkan mengadili dan menahannya.

Sementara pemerintahan Megawati masih berdebat mengenai perlu-tidaknya RUU Antiterorisme dan ada-tidaknya jaringan terorisme internasional di Indonesia. Oleh karena itu, dengan ledakan bom di Bali yang menggemparkan dunia itu, AS berharap Pemerintah Indonesia tidak bisa mengelak lagi bahwa ada jaringan teroris di negaranya.

Selain itu, kecurigaan campur tangan AS juga diperkuat oleh arah pengusutan yang terkesan mengabaikan kemungkinan keterlibatan atau konspirasi pihak asing. Polisi dinilai menganggap angin lalu temuan lapangan beberapa tim investigasi independen dan analisis ahli bom bahwa jenis bom Bali adalah C4 atau sejenis mikronuklir/termonuklir, yang diketahui hanya diproduksi oleh AS dan Israel.

Jangan heran bila Presiden Majelis Pimpinan Pusat Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), Habib Husein Al-Habsyi, berkomentar sinis bahwa apa yang terjadi di Bali seperti sinetron. George Bush produsernya, Da'i Bachtiar sutradaranya, Edward Aritonang operatornya, dan Amrozi pemain utamanya. (Republika, Minggu, 17/11/2002)

Apalagi Tim Investigasi Bom Bali yang dibentuk Mabes Polri, dibawah komando Irjen Pol I Made Mangku Paskita, tidak bekerja sendirian. Tim masih dibantu lagi oleh polisi negara luar, seperti AS, Australia, Inggris, Perancis, Swedia, Jepang, Filipina, dan Hongkong (Kompas, 17/11/2001). Meskipun hanya "pembantu", bantuan yang diberikan polisi asing itu menyangkut hal-hal vital dalam proses pengungkapan. Yakni, menyangkut DVI (Disaster Victims Identification) dan CSE (Crime Scheme Examination). DVI membantu mengidentifikasi para korban yang sudah tidak utuh dan sulit dikenali. Sementara CSE membantu membuat skema kejahatan. Di tengah keterbatasan teknologi yang dimiliki Polri serta keunggulan teknologi polisi asing, maka besar kemungkinan peran dan pengaruh polisi asing menjadi kuat dan dominan dalam proses pengusutan yang dilakukan Tim Investigasi Bom Bali.

Mendiskreditkan Islam
Kesan negatif yang kedua, pengusutan bom Bali cenderung mendiskreditkan umat Islam, khususnya gerakan Islam. Tuduhan bahwa peledakan bom dilakukan oleh Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyyah, penangkapan Amir Majelis Mujahiddin Indonesia Abu Bakar Ba'asyir hingga penggebrekan di Pondok Pesantren Al-Islam, seakan memperkuat stigma bahwa tindak kekerasan itu dilakukan oleh orang Islam, tepatnya kelompok Islam garis keras (militan-fundamentalis).

Kesan kedua ini juga ada kaitannya dengan uraian kesan pertama. Perlu diingat, usai tragedi WTC dan serangan AS ke Afghanistan, masyarakat Islam di Indonesia kerap berdemo anti-Amerika. Ormas-ormas Islam malah sering menyuarakan penegakan syariat Islam. Dari sinilah, AS mulai membidik Indonesia sebagai target propaganda perangnya terhadap terorisme. Melalui propagandisnya seperti Paul Wolfowitz, John Aschroft, Rohan Gunaratna, Lee Kwan Yu dan Yael Shahr, AS menyebut Indonesia sarang teroris. AS menuding Al-Qaidah telah membangun sel-sel pelatihan teroris di Poso, Ambon, dan Kalimantan (Pesantren Hidayatullah), dengan Abu Bakar Ba'asyir yang dicap pemimpin Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara sebagai pentolannya. Karena itu, wajar bila ada anggapan penangkapan Ba'asyir oleh Polri beberapa waktu lalu sebagai pesanan AS.

Bahkan, Koalisi Masyarakat Pemantau Independen Antiteror yang dibentuk beberapa ormas Islam seperti KISDI, KAMMI, JMP, CIR dll, menganalisis, pemilihan lokasi sasaran bom di Legian, Kuta, Bali merupakan bagian dari skenario menggiring opini publik bahwa pelakunya umat Islam (Saksi, 12/11/2002). Pemilihan night club dan café sebagai sasaran ada kaitan dengan fenomena sebelumnya dimana ada kelompok yang dicap "teroris" melakukan perusakan tempat hiburan malam seperti Front Pembela Islam (FPI).

Mengapa tempat hiburan favorit bagi turis asal Australia yang ditargetkan? Sebab sebelumnya ada tokoh yang menantang pemerintah Australia dengan garang, yaitu Abu Bakar Ba'asyir. Mengapa Bali? Karena Bali merupakan "simbol wisata dunia" sehingga mengundang perhatian masyarakat dunia secara luas, sebagaimana peledakan gedung kembar WTC di New York sebagai "simbol ekonomi global" dan gedung Pentagon sebagai "simbol pertahanan negara superpower". Di samping itu, tragedi Kuta juga mengingatkan orang pada penembakan di kota wisata Luxor, Mesir tahun 1977 yang kebetulan melibatkan organisasi bernama Jamaah Islamiyah. Organisasi berbasis di Mesir inilah yang diasosiasikan berjaringan dengan Abu Bakar Ba'asyir, dan selanjutnya berjaringan dengan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.
Dan mengapa Indonesia yang dijadikan sasaran peledakan? Jawabannya seperti yang sudah diuraikan di atas.

Ditunggangi
Kesan negatif yang ketiga adalah adanya kepentingan politik yang menunggangi kasus bom Bali terkait pemilihan presiden langsung dan Pemilu 2004. Siapa lagi pihak yang ditunjuk kalau bukan Megawati, presiden sekaligus ketua partai politik. Mega dianggap "sengaja membiarkan" pengungkapan bom Bali makin menyudutkan umat Islam. Harapannya, citra tokoh dan parpol Islam akan memburuk. Target akhirnya, Mega terpilih kembali sebagai presiden dan partainya (PDI Perjuangan) menguasai kursi di DPR dan DPD dalam Pemilu 2004.

Kesan atau lebih tepatnya isu ini barangkali berlebihan. Tapi, sekali lagi, kesan atau isu tersebut benar-benar ada di masyarakat. Dan sekali lagi, bukannya tanpa alasan. Apalagi sikap pemerintahan Megawati sangat lemah menghadapi tekanan asing yang dinilai mendiskreditkan umat Islam. Mega dinilai tidak tegar sebagai pemimpin, dan gagal menjaga kewibawaan bangsa dan negara di hadapan negara asing.

Jika isu ini meluas, apalagi benar, maka bisa memunculkan kembali sentimen anti-Megawati. Perlu diingat, menjelang Pemilu 1999, Mega pernah digugat kalangan Islam karena mayoritas calon anggota legislatif PDIP berasal dari kalangan non-Muslim. Saat itu Mega juga dipertanyakan keislamannya karena pernah bersembahyang di pura. Kalau sentimen ini menguat akan menjadi batu sandungan tersendiri bagi Mega untuk kembali menduduki kursi RI-1.

Munculnya kesan-kesan negatif di atas, yang juga penulis dapatkan pada hampir semua aktivis gerakan Islam yang pernah penulis temui, menunjukkan Polri gagal atau belum berhasil mengomunikasikan kinerjanya dalam pengungkapan bom Bali kepada masyarakat. Lepas dari benar-tidaknya penyebab munculnya kesan negatif tersebut, Polri, dalam hal ini Tim Investigasi Bom Bali, perlu membeberkan kinerja dan hasilnya secara transparan. Sebab ini menyangkut objektivitas dan kejujuran.

Tindakan penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap Ponpes Al-Islam, Desa Tenggulan, Lamongan dan siapa saja yang dicurigai, telah menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya di Jawa Timur. Sampai-sampai untuk mengatasi keresahan tersebut, Pemprov Jatim bersama Polda, Kodam V/Brawijaya, PW NU, PW Muhammadiyah dan MUI Jatim, Sabtu (16/11) lalu, perlu membentuk tim untuk meminimalisir keresahan.

Sekali lagi, jika Tim Investigasi Bom Bali tidak menunjukkan objektivitas, kejujuran dan transparansi, maka keraguan dan kecurigaan yang ada bukannya hilang, malah makin bertambah dan menguat. Masyarakat pun semakin resah oleh ketidakpastian dan dicekam kekhawatiran: "Jangan-jangan saya nanti juga ikut ditangkap dan dituduh teroris.".

Menaggulangi Terror Bom



SUATU hal yang layak mendapatkan acungan jempol adalah spontanitas
beberapa orang Indonesia untuk dengan cepat berkumpul bersama
membicarakan masalah bom yang mengguncang kekhusukan masyarakat pada
malam Natal 24 Desember 2000.

Salah satu di antaranya adalah pembentukan Forum Indonesia Damai (FID)
yang bermaksud membantu pengusutan melalui fact-finding terhadap
perbuatan khianat tersebut. Tetapi, reaksi cepat semacam itu
seharusnya yang melakukan adalah pemerintah dengan membentuk forum
yang disebut crisis-center sesuai standard operation procedure (SOP)
penanggulangan terror di banyak negara.

Crisis-center terdiri dari para pejabat yang berwenang dari lembaga
eksekutif dan legislatif yang didukung oleh yudikatif. Dalam hal ini
kewenangan, legalitas, dan kualifikasi pengusut sangat diperlukan
termasuk untuk mengakses berbagai data dalam documents intelijen
berklasifikasi rahasia yang ada dalam birokrasi dan organisasi
pemerintahan terkait.

Spontanitas masyarakat dalam menyikapi terorisme di banyak negara
memang cukup bervariasi. Mulai dari pesimisme, apatisme, sekadar
memberikan informasi kepada aparat keamanan, apriori terhadap aparat
keamanan, sampai dengan tindakan sepihak terhadap kelompok tertentu
yang dianggap bertanggung jawab. Spontanitas terakhir tersebut pernah
terjadi di Spanyol, di mana Grupo Anti-Terorista de Liberacion (GAL)
atau kelompok ekstrem sayap kanan di Spanyol melakukan pembunuhan
sepihak terhadap para anggota ETA dan faksi-faksi militan Basque
lainnya, hanya karena faksi-faksi militan tersebut sering
diidentifikasikan sebagai kelompok teroris. Masalahnya sekarang
seberapa efektifkah berbagai spontanitas masyarakat seperti itu bagi
keberhasilan penanggulangan terorisme di Indonesia?

Tindakan sepihak oleh faksi-faksi dalam masyarakat kita jika sampai
terjadi seperti apa yang dilakukan GAL, tentu harus dihindari karena
justru akan memperburuk situasi. Sekalipun tujuannya ikut menumpas
terorisme, tindakan yang diambil akan cenderung anarkhis karena tidak
melalui mekanisme yang legal. Belum lagi pengaruh kecurigaan mereka
terhadap kelompok-kelompok yang selama ini "diidentikkan" dengan
teroris, sangat berpotensi menimbulkan kesimpulan yang salah.

Demikian juga dengan spontanitas masyarakat yang hanya didasari atas
rasa curiga mencurigai saja justru dapat menghambat upaya-upaya
penanggulangannya. Publik boleh saja, misalnya, trauma terhadap
kinerja TNI pada masa lalu yang sering dianggap memiliki agenda
politik. Publik juga bisa saja trauma terhadap TNI karena ada oknumnya
yang terlibat dalam pengeboman Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun
lalu. Atau publik bisa saja curiga karena ada indikasi penggunaan TNT
dalam berbagai pengeboman pada malam Natal yang lalu, yang oleh
sebagian kalangan dianggap hanya diproduksi oleh instansi tertentu
(arahnya tentu TNI). Implikasinya, ada spontanitas masyarakat dalam
mengungkap pengeboman malam Natal, yang lebih didasarkan pada
kecurigaan "keterlibatan" TNI ataupun oknumnya, sehingga secara
institusional TNI dianggap akan mempersulit upaya pengungkapannya.

Betapa pun tercelanya kiprah TNI di masa lalu, para prajurit TNI
adalah masyarakat Indonesia yang sama seperti kita semua, yang bisa
belajar dari kesalahan masa lalu dari para pendahulunya dan ingin
memperbaiki diri. Segala koreksi kepada TNI yang telah diberikan oleh
masyarakat sejak era reformasi tentu sangat dimengerti dan diakomodasi
secara bijak oleh para prajurit.

Bahkan para prajurit TNI pun kini tengah berupaya sekuat tenaga untuk
bersikap lebih terbuka, lebih obyektif, dan lebih profesional untuk
memperbaiki citranya. Pada kondisi seperti ini mustahil bagi TNI
sebagai institusi menghalangi upaya pengungkapan pengeboman laknat
tersebut, siapa pun pelaku yang dicurigai termasuk mungkin oknum
anggotanya.

Oleh karena itu, spontanitas masyarakat yang lebih diharapkan
sebenarnya adalah semangat kooperatif dalam mencari informasi sekitar
insiden pengeboman tersebut, sehingga bersifat complementary bagi
crisis-center pemerintah. Bagaimanapun efektivitas dan kecepatan
pengungkapan insiden tersebut akan lebih baik melalui partisipasi
aktif masyarakat.

Bagaimana mewujudkannya? Salah satu alternatif yang dapat dilakukan
pemerintah adalah memberikan reward kepada mereka yang dapat
memberikan informasi tentang pelaku pengeboman malam Natal yang lalu.
Reward tersebut dapat berupa uang bila diberikan oleh masyarakat awam
atau konsesi-konsesi tertentu seperti pembebasan dari penuntutan atau
pengurangan hukuman bila diberikan oleh para anggota kelompok pelaku
yang terlibat atau ada kaitannya dengan pengeboman tersebut.

Sejauh mana efektivitas alternatif cara bertindak ini? Sebagai
perbandingan kita dapat melihat keberhasilan Pemerintah Italia dan
Amerika Serikat yang pernah menggunakan metoda yang seperti itu.
Pemerintah Italia ketika menumpas Brigate Rosse (Brigade Merah),
kelompok teroris sayap kiri yang bertanggung jawab terhadap
serangkaian penculikan dan pengeboman sepanjang dekade tahun 1970-1980
termasuk pembunuhan terhadap Perdana Menteri Aldo Moro, adalah dengan
memberikan reward besar-besaran kepada siapa saja yang dapat
memberikan informasi.

Hal ini ternyata sangat efektif karena dalam kurun waktu satu tahun,
kelompok teroris tersebut secara internal terpecah-belah sehingga
praktis sejak era tahun 1980-an mereka tidak memiliki kekuatan lagi.
Demikian juga halnya dengan Amerika Serikat ketika mengungkap
pengeboman Gedung World Trade Center New York pada tanggal 26 Februari
1993. Pemerintah Amerika Serikat menawarkan hadiah sebesar 2 juta
dollar AS bagi mereka yang dapat memberikan informasi sehingga dalam
kurun waktu enam bulan pemerintah dapat menangkap 20 orang pelakunya.

Sekalipun demikian partisipasi aktif masyarakat tersebut harus
diimbangi oleh sikap tegas pemerintah dalam menghadapi terorisme.
Dalam hal ini pemerintah harus dapat memberikan "pesan" kepada publik
bahwa setiap tindakan terorisme akan senantiasa dihadapi dengan
hukuman yang sangat berat seperti hukuman mati atau seumur hidup.
Mengapa tidak? Selama hal tersebut dapat terakomodasi oleh sistem
hukum positif kita, metoda ini akan menjadi salah satu penangkal
terorisme yang sangat efektif.

Metode seperti ini juga pernah dilakukan beberapa negara yang ternyata
cukup memberikan hasil yang sangat efektif. Kelompok teroris sayap
kiri Jerman Baader-Meinhof, yang telah melakukan beberapa pengeboman
dan pembunuhan dapat ditumpas habis setelah pengadilan Jerman
menjatuhi hukuman seumur hidup kepada para pemimpin kuncinya termasuk
Andreas Baader dan Ulrike Meinhof, yang kemudian menghabisi nyawanya
sendiri di penjara.

Demikian juga dengan pengadilan Peru yang sejak tahun 1992 mulai
memberikan sanksi hukuman mati atau seumur hidup kepada para anggota
Sendero Luminoso, salah satu faksi radikal komunis Peru yang
bertanggung jawab terhadap serangan bom, penculikan, dan sabotase
sepanjang tahun 1970-1994, sangat efektif menghentikan terorisme
kelompok tersebut. Hal yang sama juga dilakukan Pemerintah Spanyol
sejak tahun 1990 ketika menumpas Euzkadita Azkatasuna (ETA), salah
satu faksi garis keras Basque yang bertanggung jawab terhadap
serangkaian serangan bom dan penculikan sepanjang periode tahun
1959-1992 sehingga eksistensi kelompok ini semakin melemah.

Metode pemberian hukuman seperti ini seyogianya sudah mulai dilakukan
terhadap para pelaku pengeboman BEJ yang saat ini tengah dalam proses
pengadilan. Ada dua sasaran yang dapat dicapai bila pengadilan yang
tengah berlangsung tersebut dapat memberikan vonis hukumannya dalam
waktu dekat.

Pertama, hukuman mati atau seumur hidup tersebut dalam banyak hal akan
mencegah kelompok teroris lain yang mungkin sedang merencanakan
tindakan-tindakan serupa di kemudian hari.

Kedua, kombinasi hukuman berat tersebut dengan reward pembebasan
tuntutan atau pengurangan masa hukuman, dalam banyak hal akan membuat
bimbang para pelaku pengeboman di malam Natal yang baru lalu.

Sekalipun para pelaku pengeboman tersebut merupakan suatu tim yang
tentunya telah dilatih dan dipersiapkan, integritas masing-masing
individunya tidak mungkin sama. Seperti halnya working team lain di
berbagai bidang, tentu ada saja di antara mereka yang menjadi motor
dan ada pula yang hanya bertindak sebagai pengikut. Mereka yang
berstatus sebagai pengikutlah yang biasanya lebih mudah mengubah
pendiriannya bila dihadapkan pada konsesi-konsesi yang lebih
menguntungkan.

Oleh karena itu, bila pemerintah dapat segera menunjukkan betapa
beratnya hukuman bagi mereka yang terlibat terorisme dan betapa
menguntungkannya bagi mereka yang dapat memberikan informasi tentang
pelaku pengeboman, saya optimis crisis-center pemerintah yang kini
diwujudkan melalui tim khusus pimpinan Kepala Kepolisian RI, tidak
akan memerlukan waktu yang lama dalam mengungkap pengeboman malam
Natal tersebut.

Ancaman yang membayangi jika kita gagal mengungkapnya secara tuntas.
Bangsa Indonesia mungkin akan mengalami bermunculannya kloning-kloning
Abu Nidal (komandan Revolutionary Council of Fatah) yang dituduh telah
melakukan serangkaian terorisme di Roma (1985), Bandara Wina (1985)
dan pengeboman pesawat PanAm di atas Lockerbie Scotland (1988)
sehingga menewaskan 270, yang sampai saat ini masih tidak tersentuh.



Peran Para Tersangka Bom Bali

Proses eksekusi Amrozi, Ali Gufron dan Imam Samudra berlangsung tepat pukul 00.15 Wib dini hari Ahad. Ketiganya tewas seketika saat peluru panas menghantam jantung.

Amrozi cs divonis sebagai pelaku pemboman Padi's Bar dan Sari Club di pulau Bali. Peristiwa bom Bali I terjadi 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang.

Eksekusi hukuman mati trio bomber Bali I menuai kontroversi. Pakar Hukum Universitas Padjadjaran Prof Dr I Gede Pantja Astawa MH, menilai pelaksanaan eksekusi tersebut sebagai konsekuensi implementasi perundang-undangan yang ada di Indonesia, melalui proses panjang ari penangkapan, pemeriksaan, penuntutan hingga vonis di pengadilan. Dituturkannya,"Begitu upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan penasihat hukum ketiganya ditolak, secara hukum Kejagung sudah bisa melaksanakan eksekusi."

Eksekusi tersebut melegakan sebagian publik Australia. Kelegaan itu tercermin dari komentar sejumlah keluarga korban kepada media Australia, Minggu pagi.

Sebagaimana dilansir The Herald Sun, Maria Kotronakis, warga Sydney yang kehilangan dua saudara perempuannya dalam tragedi bom Bali I sangat senang karena keadilan yang mereka tunggu-tunggu sejak lama akhirnya datang.

Sementara itu Kontras, menilai hukuman mati terhadap Amrozi cs tidak perlu diberlakukan.Koordinator Kontras Usman Hamid mengatakan,"Kita tetap tidak setuju dengan hukuman mati Amrozi Cs. Bukan karena dia Amrozi, Muklas atau Imam Samudera, tapi sebagai manusia."

Menurut Usman, eksekusi terpidana mati Bom Bali I ini juga memperlambat semangat pembaruan hukum di Indonesia. Sebab, revisi UU KUHP sejak tahun 1980-an sampai 1990-an hingga kini tidak jalan.

Ditegaskan Usman, pilihan hukuman mati bagi para narapidana bukan pilihan yang paling tepat. Selain bertentangan dengan konstitusi dan hak-hak asasi manusia, juga tidak akan mungkin menciptakan efek jera.

Usman menilai tidak tepat apabila pemerintah menganggap penerapan hukuman mati bisa menghapus terorisme. Dikatakannya, "Tidak benar juga kalau pemerintah kehilangan kewibawaan jika tidak mengeksekusi mati. Tetap diberikan hukuman, tapi dapat diganti dengan hukuman seumur hidup dan itu kewenangannya ada di Presiden.

Terkait semangat pembaruan hukum di Indonesia, Usman menerangkan, tidak ada yang berubah dalam RUU KUHP. Seharusnya, hukuman mati bukan hukuman yang mutlak, tapi bisa diterapkan dengan masa percobaan hukuman 10 tahun penjara terlebih dahulu.

Ketua PCI NU Australia-Selandia Baru, H.S.Eko Zuhri Bernada memandang eksekusi terhadap tiga pelaku Bom Bali 2002 tidak menyelesaikan masalah dan tidak berprikemanusiaan bahkan justru memenuhi keinginan mereka untuk menjadi martir. Dituturkannya, "Hukuman mati hanya memenuhi keinginan mereka untuk menjadi martir. Citra martir itu pun kini sudah terjawab di masyarakat seperti adanya orang yang menjual baju kaos bergambar Amrozi."
Sejumlah orang tak dikenal menempelkan poster dukungan dan simpati kepada Amrozi cs di sepanjang jalan Ngagel Jaya Selatan hingga Bung Tomo dan AJBS. Dalam poster berukuran 50 cm x 100 cm, tertulis "Mujahid Bisa Mati, Tapi Jihad Akan Tetap Berlanjut","Amrozi Syahid, Eksekutor Sangit", "Syahidnya Amrozi Cs Benih Daulah Islam" "Amrozi Mujahid Vs Amerika Teroris", "Membunuh Amrozi Cs = menunai Bencana", "Syahid 3 tubuh, tumbuh 3000 Mujahid", "Ya Allah hancurkan eksekusi Amrozi Cs", "Ya Mujahid balas eksekutor."
Menurut Eko Zuhri hukuman mati tidak menyelesaikan masalah di tengah kesimpang-siuran opini di masyarakat Indonesia terkait dengan kasus mereka. Kandidat doktor Universitas Nasional Australia (ANU) ini menegaskan,"Yang dilakukan Amrozi dkk di Bali enam tahun lalu tetap salah karena Indonesia bukanlah lokasi perang melainkan tempat damai sehingga membunuh warga sipil yang tidak bersalah tidak dapat dibenarkan."

Dewan Penasihat Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais meragukan kemampuan Amrozi dan kawan-kawan membuat bom Bali. Oleh karena itu pemerintah harus mencari dalang yang sebenarnya.

Amin Rais saat berkunjung ke Pasar Ujungberung, Bandung, Sabtu (8/11) mengatakan, "Seorang santri yang sederhana tidak mungkin dapat membuat bom seperti bom Bali. Saya sudah bertanya kepada teman-teman doktor fisika, dan ternyata bom sebesar itu harus dibuat di laboratorium".

Ia mengatakan pemboman Bali itu adalah tindakan radikal, sehingga sudah seharusnya penyelidikan bergeser ke dalang yang sebenarnya, jangan hanya sampai Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron.

Sebelumnya Amien Rais pernah meminta rekonstruksi agar Amrozi merakit bom dengan diberikan bahan-bahan bom persis sama dengan yang pernah dipakainya untuk meledakkan bom di Bali. Sayangnya, rekonstruksi ini tak pernah dilakukan. Sehingga tak pernah bisa dibuktikan bahwa Amrozilah yang membuat bom yang meledak dan menewaskan ratusan orang di Bali itu. Kasus bom Bali memang menyisakan kontroversi.

Keraguan senada juga pernah dikemukakan Mantan Kabakin almarhum ZA Maulani. Menurut Maulani sebagaimana dituturkan Muhammad Al Khaththath,
bom yang meledak di Paddys Club pada peristiwa Bom Bali I bukan bom biasa melainkan mikro nuklir yang hanya diproduksi di Amerika, Perancis dan Israel. Dikatakannya, Amrozi cs tak mungkin bisa membuat bom mikro nuklir sedahsyat itu.

Sekjen Forum Umat Islam Muhammad Al-Khaththath menilai lebih dari 100 terpidana mati yang ditahan di penjara belum juga dieksekusi. Bahkan, ada yang sudah 38 tahun lebih tapi masih hidup sampai saat ini. Dengan nada aneh Al-Khaththath menuturkan, "Mengapa media massa kita banyak yang memberitakan seolah-olah ada tekanan dari publik agar eksekusi mati Amrozi Cs segera dilaksanakan. Ada apa sebenarnya? Apakah pemerintah SBY sekedar ingin mendapat rapor baik atau bagaimana?"

Beberapa waktu lalu, beredar buku yang menggegerkan berjudul "Di Balik Berita Bom Kedutaan Besar Australia & Skandal Terorisme". Dalam buku tersebut terdapat ulasan menarik berjudul "Zionis Yahudi Meledakkan Nuklir di Kedutaan Besar Australia-Indonesia".
Laporan itu ditulis oleh analis bom dari Australia Joe Vialls, disertai foto-foto dan hasil rekaman kamera yang tidak dapat berbohong. Misalnya analisa dari bentuk asap yang dihasilkan oleh bom yang meledak di depan Kedubes Australia-Jakarta berwarna putih dan membentuk mirip cendawan. Warna dan bentuk asap seperti itu hanya bisa dihasilkan oleh sebuah ledakan nuklir, bukan oleh potassium chlorat atau TNT. Demikian pula bom yang meledak pada Bom Bali I.

Uji coba nuklir AS di gurun Nevada memberikan perbandingan yang nyata, bahwa bom yang meledak pada Bom Bali I dan Kedubes Australia-Indonesia adalah sejenis nuklir. Foto asap pada ledakan Bom Bali I dapat dilihat di majalah Sabili (20 Oktober 2005) yang berwarna oranye dan membentuk seperti jamur.

Selain bekas ledakannya membentuk semacam kawah (lebar 4m, panjang 7m, dan kedalaman 1,5m), korban terbakar di dalam kafe Sari Club seperti "bandeng presto", tubuhnya utuh tapi tulangnya hancur sehingga tidak bisa diangkat kecuali dialasi kain di bawahnya. Jika pelaku kedua bom tersebut adalah JI, maka pertanyaannya adalah, dari mana mereka mendapatkan akses bahan-bahan peledak tersebut. Sementara peran Amrozi yang membawa karbit (potassium chlorat) dari Lamongan ke Bali pada Bom Bali I dapat dideteksi aksesnya. Mengapa bahan peledak pada Bom Bali II yang sempat dipublikasi media berupa TNT tidak terdeteksi akses perolehannya? Lalu siapa dalang semua ini ?


Monumen Bom Bali

Berbagai persiapan menjelang peringatan enam tahun tragedi bom Bali I di Ground Zero, Legian, Kuta, Bali, sejak Sabtu (11/10) telah dilakukan. Sejumlah wisatawan lokal dan asing juga banyak mengunjungi monumen kemanusiaan yang mencatat lebih dari 200 orang tewas dalam tragedi tersebut.

Di monumen Ground Zero saat ini tidak terlihat persiapan yang mencolok, hanya pemasangan bendera negara-negara yang warganya ikut menjadi korban. Berbagai karangan bunga diletakkan di depan monumen. Banyak wisatawan menyempatkan melihat nama-nama para korban di papan monumen sambil mengabadikan diri dengan latar belakang monumen tersebut.

Kalau anda sedang liburan di kawasan Kuta atau Legian, pastinya akan pernah melewati tempat yang satu ini, tepatnya sebuah monumen peringatan. Di monumen ini terpahat nama-nama korban Bom Bali I sebanyak 202 orang. Monumen lebih dikenal dengan nama monumen peringatan bom Bali.

Tempat ini juga menjadi favorit sebagai backdrop untuk sekedar photo-photo bagi para pengunjung. Pada tanggal 12 Oktober tiap tahunnya diadakan peringatan di tempat ini yang dihadiri oleh keluarga korban dan perwakilan negara-negara sahabat. Prosesi di sore harinya dilanjutkan di pantai Kuta yang bertajuk “Paddle for peace”. Gema perdamaian dan renungan pun dikumandangkan.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda