Kamis, 27 Agustus 2009

CENTRAL UNGGAS FARM: Manajemen Pengelolaan Sapi Perah

CENTRAL UNGGAS FARM: Manajemen Pengelolaan Sapi Perah

CENTRAL UNGGAS FARM: Manajemen Pengelolaan Sapi Perah

Bangun Pasar Susu Indonesia | Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

Bea Masuk Impor Susu 5 Persen | Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

Rabu, 26 Agustus 2009

Peternak Sulit Naikkan Produksi | Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

Teror Bom di Indonesia 1999

2 Januari 1999:
Toserba Ramayana, Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah V.M. Rosalin Handayani dan Yan Pieterson Manusama, pengusaha yang dilatar-belakangi motif sengketa pribadi. Bahan peledak bom adalah TNT.

9 Februari 1999:
Mal Kelapa Gading, Jakarta. Siapa pelaku dan apa motif bom yang berbahan peledak TNT itu, tidak diketahui.

15 April 1999:



Plaza Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Pelakunya adalah Ikhwan, Naiman, Edi Taufik, Suhendi, dan Edi Rohadi, anggota kelompok yang disebut-sebut sebagai Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN) pimpinan Eddy Ranto. Motif pemboman adalah kriminal (perampokan). Kelompok AMIN ini juga dituduh meledakkan Istiqlal. Anehnya, dalam kasus ini, motifnya diputuskan sebagai kriminal. Bahan peledak ramuan KCl03 (kalium klorat) dan TNT.




19 April 1999: Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah Eddy Ranto alias Umar, 40 tahun yang juga diduga sebagai otak perampokan Bank BCA Taman Sari, Jakarta dan peledakan satu wartel di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, beberapa pekan sebelumnya. Sayangnya, kasus ini tetap menjadi misterius, lantaran belum tuntas. Bahan peledaknya sama dengan kasus Hayam Wuruk. Bahan peledaknya, TNT (trinitrotoluene) dan KCLO3 (kalium chlorat).



PELAKU PEMBOMAN MASJID ISTIQLAL SEORANG MANTAN TARUNA AKBRI

JAKARTA (SiaR,23/4/99), Aparat menyatakan bahwa Amir alias Edi
Ranto, Ketua Kelompok Angkatan Mujahidin Islam Indonesia (AMIN) adalah
tersangka otak perampokan BCA dikaitkan dengan kasus peledakan Mesjid
Istiqlal (19/4). Sedangkan Gus Dur menduga pembom itu orang bayaran dan
oknum bekas ABRI. Tapi lain lagi dengan temuan SiaR yang menyimpulkan adanya
kemungkinan anak emas Prabowo dari kelompok Tidar.

Hasil investigasi SiaR menunjukkan bahwa pelaku peledakan bom di Masjid
Istiqlal adalah Eddy Prabowo, seorang mantan taruna AKABRI, yang direkrut
Prabowo -mantu mantan Presiden Soeharto-- untuk masuk kelompok Tidar yang
dibentuknya.

Kontroversi siapa pelaku pemboman di Mesjid Istiqlal makin meruncing
setelah POLRI dengan mudahnya melanggar asas praduga tak bersalah, dengan
mengaitkan Amir alias Edi Ranto tersangka pelaku perampokan Bank BCA di
Gang Kancil menjadi tersangka utama satu-satunya pemboman Istiqlal. Bahkan
Kadispen Polri Brigjen Pol Togar Sianipar, Rabu (21/4) kemarin menjelaskan,
bahwa satu dari 10 saksi, mengaku pernah bertemu dengan 2 di antara 4 pelaku
yang diduga melakukan pemboman di Istiqlal. Saksi ini ditemukan polisi pada
Selasa (20/4) malam.

Dengan demikian, sudah ada 2 saksi -- di samping para saksi mata
yang diperkirakan bisa membawa polisi melacak jejak pelaku pemboman di
Istiqlal, demikian tuduh Togar Sianipar.

Dari saksi tersebut diperoleh gambaran atau perkiraan wajah pelaku.
Namun hingga kini belum ada pelaku yang ditangkap aparat. Dua saksi yang
memberikan titik terang ini, berasal dari luar Jakarta. Namun, kata Togar,
saksi ini bukan tersangka. Ia berada di Polda Metro Jaya untuk dimintai
keterangan, dan bukan ditangkap. Dari hasil pengembangan kasus tersebut
sudah diketahui sketsa wajah dari 2 pelaku. Namun, hasil tersebut masih akan
diteliti lagi agar dapat dipastikan kebenarannya. Sedangkan hasil
pemeriksaan atas serpihan bom yang ditemukan di lokasi kejadian, diketahui
bom tersebut adalah bom rakitan yang dibuat orang-orang yang profesional dan
benar-benar mengerti tentang bahan peledak.

Tuduhan bahwa bom rakitan tersebut adalah bom ikan yang banyak
dirakit di Lampung dibantah Kol Syahril Arifin, Wakapolda Lampung (21/4).
Sejumlah media cetak baik pusat maupun daerah terbitan Rabu (21/4) mensitir
informasi bahwa polisi menduga pemboman perkantoran Masjid Istiqlal itu
memiliki benang merah dengan ledakan di Hayam Wuruk Plaza sebelumnya. Dalam
bantahannya, Syahril Arifin mengatakan jenis bom rakitan sendiri seperti
dari bahan lactosin lalu dicampur mesiu dan diberi detonator, sebetulnya
bisa dibuat siapa saja dan bahannya antara lain ada di apotik, karena bahan
itu biasa digunakan untuk keperluan medis. "Orang apotik bisa, kita pun
semua bisa, tetapi apakah itu, ini yang masih diselidiki," katanya.

Bahkan Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol)Noegroho Djajoesman (23/4)
memperkuat dengan mengatakan bahan dasar bom tersebut dari TNT
(Trinitrotuluene) dengan pemicu peledaknya KC103 (kalium chlorat ). Bahan
bahan tersebut hanya dimiliki instansi militer atau perusahaan pertambangan
(yang memiliki ijin khusus) dan tidak beredar di pasaran bebas. Tentang
kemungkinan oknum TNI atau bekas anggota TNI yang diduga terlibat, Noegroho
menyatakan, sebaiknya jangan terlalu dini menuduh tanpa disertai bukti dan
fakta yang kuat.

Namun Sementara itu pengamat politik Prof Dr M Budyatna mendesak aparat
keamanan menindaklanjuti pernyataan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tentang adanya indikasi konspirasi teroris bayaran dengan orang
profesional dan terlatih untuk membom sejumlah ruangan di Mesjid Istiqlal.
Statemen yang dikeluarkan Gus Dur "Pelakunya adalah teroris bayaran pihak
tertentu untuk menggagalkan Pemilu 1999. Mereka adalah orang-orang yang
istilahnya massa mengambang. Mereka bekas ABRI yang saat ini sudah tidak di
dalam struktur lagi," kata Gus Dur di Jakarta, Selasa (20/4).

Pada hari yang sama, televisi swasta SCTV dalam dua kali siaran
beritanya mewawancarai seorang ahli bom, namun tidak disebutkan nama dan
identitasnya demi keselamatan. Ahli bom itu mengungkapkan bahwa pemboman
dilakukan oleh orang-orang profesional. Bahan bom tidak ada di pasaran,
sedangkan perakitannya kemungkinan besar tidak dilakukan oleh orang sipil.

"Ini beda dengan ledakan bom ikan. Berapa sih kekuatan bom ikan?"
katanya. Menurutnya, kemungkinan selain mendapat tawaran untuk membom tempat
tertentu, kelompok ini juga menawarkan jasanya.

Berangkat dari pernyataan Gus Dur dan ahli bom tersebut, sketsa yang
disebarkan aparat keamanan mirip dengan seorang anak buah Prabowo yang
bernama Eddy Prabowo. Menurut sebuah sumber SiaR, Eddy Prabowo adalah
seorang mantan Taruna AKABRI yang dikeluarkan karena terlibat penganiayaan
berat terhadap seniornya. Setelah keluar ia langsung direkrut Prabowo dalam
Kelompok Tidar. Setelah itu ia disekolahkan khusus anti-teror di luar
negeri. Konon Eddy sempat dibiayai kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas
Prof. Dr Moestopo di Jakarta. Anak Emas Prabowo ini diperbolehkan tinggal di
bekas rumah tempat tinggal dan bahkan menempati kamar bekas Prabowo di Jl
Wijaya IX, didaerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dugaan Gus Dur bahwa pembom Mesjid Istiqlal ini seorang oknum mantan
ABRI, boleh jadi benar karena Eddy yang selanjutnya dipercaya menjadi Wakil
Ketua Satria Muda Indonesia (SMI) itu adalah seorang ahli beladiri dan
penggunaan senjata api. SMI adalah Perguruan Silat yang dibentuk Prabowo
untuk melatih sejumlah jagoan silat dan preman jadi pasukan paramiliter.

Menurut sumber SiaR yang dekat Eddy, dikatakan ia juga ahli beladiri
tangan kosong yang mematikan. Sumber tersebut mengungkapkan bahkan di kamarnya
ia mempunyai senjata api dan baju seragam tentara hitam hitam tanpa tanda
pengenal yang mirip dengan pasukan siluman yang saat Kerusuhan Mei 98 banyak
terlihat. Ia juga diberi fasilitas latihan menembak 2 kali seminggu di Markas
KOPASSUS, Cijantung saat kelompok Prabowo masih berkuasa.

Setelah Mei 1998 Prabowo digeser, beberapa sumber mengatakan, Eddy
bergabung dengan kelompok Cikarang, yaitu kelompok mantan pasukan elit yang
sakit hati pada ABRI di bawah pimpinan Wiranto. Tampaknya kecurigaan beberapa
kalangan seperti Prof.Dr Budyatna agar aparat jangan cuma mengkambing-hitamkan
seseorang memang beralasan, karena Polri sendiri belum berani menyidik dan
memeriksa milisi-milisi seperti kelompok Cikarang ini.

Budyatna menyebutkan, bahwa penyebutan gerakan AMIN merupakan bagian
dari rekayasa aparat keamanan untuk mengalihkan dari pelaku pemboman
sesungguhnya. Hal ini seperti pada kasus serupa pada 1980-an, ketika terjadi
Kasus Cicendo, pembajakan pesawat Woyla, dan pemboman Borobodur. Saat itu
pemerintah dengan cepat menuding para pelakunya berasal dari kelompok Islam
fundamentalis atau ekstrem kanan. Padahal, berbagai kelompok Islam itu merupakan
bagian dari pengkambing-hitaman proyek operasi khusus (opsus)-nya Ali Moertopo
dan Benny Moerdani. Karena yang berada di balik pemboman dan pembajakan itu
adalah gerakan opsus itu sendiri.

Kelompok Tidar sendiri adalah merupakan kelompok yang terdiri atas
mantan taruna Akmil Magelang yang "tidak sempat" diwisuda. Mereka biasanya
dipecat sebagai taruna lantaran terlibat kasus kriminal semacam pembunuhan,
penganiayaan atau menghamili gadis baik-baik. Di jaman Prabowo Subianto jadi
Danjen Kopassus, para "mantan" ini direkrut menjadi sebuah satuan khusus
yang beroperasi di bawah kendali Baret Merah. Mereka siap melakukan operasi
kotor yang tak mungkin dilakukan satuan Baret Merah, seperti halnya
keterlibatan mereka dalam Kerusuhan Mei 1988.***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html





Bom Malam Natal dan Sinyal Menko Polkam

________________________________________

Malam Natal 2000 berubah menjadi malam teror. Sedikitnya 38 bom meledak di 11 kota. Sejumlah gereja porak-poranda. Darah berceceran di mana-mana. Jerit tangis ibu-ibu dan anaknya menghentikan suasana hening saat doa memuliakan Allah.
Laporan resmi menyebut sedikitnya 20 orang tewas, 35 luka berat, dan 48 cedera ringan. Peristiwa ini mengejutkan masyarakat Indonesia maupun internasional. Rumah Allah tidak lagi dihormati, bahkan dijadikan target kekerasan.
Tragedi malam Natal sempat berubah menjadi misteri akibat lemahnya pengetahuan kita mengenai aksi terorisme. Opini publik, termasuk pejabat negara dan aparat keamanan, hanya mampu mengarah sebatas kecurigaan pada Soeharto, sisa Orde baru, atau TNI yang akrab dalam permainan intelijen.
Tapi, apakah benar demikian?
***
Persoalannya adalah minimnya pemahaman mengenai terorisme, teroris, dan teror. Konsep, teori, dan model yang digunakan bagi pendekatan persoalan ini masih mengacu pada tahun 1970-an. Padahal, selama kurun waktu 1970-an hingga sekarang telah terjadi perubahan drastis dalam visi, target, metode, dan bentuk-bentuk organisasi teroris.
Dalam kasus bom Natal, misalnya, pejabat tinggi negara maupun mereka yang terkait dalam masalah keamanan, membantah peristiwa ini terkait dengan jaringan teroris internasional. Sikap demikian bergeming kendati Dedi Mulyadi, veteran perang Afganistan, ditangkap polisi di Pangandaran, Jawa Barat.
Dalam pemeriksaan ia mengaku, perencana dan donatur serangan bom di Bandung, Sukabumi, dan Pangandaran adalah Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Hambali. Untuk pertama kalinya nama Hambali muncul dan dikenal dari pengakuan Dedi.
Demikian pula ketika polisi menangkap Taufiq bin Abdul Halim (27) alias Dodi Mulia, alias Doni, alias Yudi Mulya Purnomo, alias Dani, warga Malaysia, dalam kasus pengeboman Atrium Senen, Jakarta Pusat, 1 Agustus 2001. Sama seperti Dedi, Dani ditangkap karena faktor kebetulan. Bom yang disiapkan meledak secara premature.
Dalam perspektif pejabat, aksi kekerasan dikategorikan sebagai teror jika ada kelompok mengaku bertanggung jawab. Sebab, terorisme bukan peristiwa yang lepas seperti gas di udara, tapi menkomunikasikan keinginan dan tuntutan teroris. Dalam kasus bom Natal dan rangkaian serangan bom berikutnya, tidak ada satu pun kelompok yang merilis tanggung jawab itu.
Itu sebabnya kebingungan dan keragu-raguan kerap muncul dalam setiap pernyataan pejabat, berkaitan dengan peristiwa kekerasan di Indonesia. Contohnya saja, nama Hambali baru diajukan agar dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) Interpol setelah terjadinya peristiwa 11 September di AS, atau 10 bulan setelah bom Natal.
Sebaliknya, kelompok radikal sangat memahami persoalan ini. Mereka bahkan memanfaatkannya dengan mendukung "kebingungan" itu melalui kampanye propaganda di berbagai media massa. Mereka yang bergerak di luar jalur ini segera dijadikan bulan-bulanan kritik dan cercaan, baik melalui media massa maupun unjuk rasa.
Jika dirunut ke belakang, akan makin jelas tampak bagaimana peristiwa kasat mata itu "disulap" menjadi mirip benang kusut.
***
Sebelum terjadinya serangan bom malam Natal, rangkaian ledakan bom dan granat terjadi di beberapa kota. Hanya berselang empat hari setelah bom mengguncang Plaza Hayam Wuruk, Jakarta Pusat (15/4 - 1999), misalnya, satu ledakan keras memorak-porandakan ruang perkantoran di Kompleks Masjid Istiqlal Jakarta. Bom ini disebut-sebut berdaya ledak tinggi hingga memorak-porandakan sejumlah ruangan perkantoran di situ.
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Sedang pelakunya hingga sekarang masih misterius. Sebanyak 13 orang yang ditangkap Polri dan diproses secara hukum, akhirnya bebas oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, 5 Januari 2000. Polisi menangkap mereka karena diduga terlibat dalam peledakan Plaza Hayam Wuruk, perampokan kantor cabang BCA, dan terkait dengan peledakan bom di Istiqlal. Perampokan BCA hampir bersamaan dengan peledakan di Plaza Hayam Wuruk. Lokasinya juga berdekatan.
Pada waktu itu polisi menyebut, mereka itulah pelakunya dan tergabung dalam AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara). Kelompok ini aktif melakukan latihan militer di Desa Maseng, Caringin, Kabupaten Bogor. Tapi sebaliknya, tokoh partai poltik maupun aktivis organisasi agama balik menuding Polri melakukan rekayasa.
Menurut mereka, pernyataan Polri menyudutkan agama Islam. Sebab, dalam daftar organisasi yang melakukan aksi makar, nama AMIN tidak pernah tercatat atau terdengar. Mereka juga mencurigai 13 tersangka sebagai korban salah tangkap, karena umumnya hidup melarat dan mencari nafkah dengan berjualan keripik singkong dan kerupuk. Warga seperti ini jelas tidak punya uang untuk membeli bahan peledak.
Reaksi yang sama juga terjadi ketika Polri berhasil menangkap Tazul Arifin alias Sabar (34), pelaku pembacokan Ketua PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Matori Abdul Jalil. Sedang rekannya, Tarmo alias Sarmo, tewas dikeroyok massa. Peristiwa ini terjadi di rumah Matori, Jalan Elang Emas Blok C-7/12, Kelurahan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, 5 Maret 2000, atau 11 bulan setelah pengeboman di Istiqlal.
Dalam pemeriksaan, Sabar mengaku melaksanakan perintah Zulfikar, pimpinan kelompok pengajian 12 orang. Setiap Sabtu dan Minggu, mereka melakukan pengajian di salah satu masjid di daerah Kapuk, Cengkareng. Mereka adalah anggota AMIN. Tapi, lagi-lagi media massa menyebutnya sebagai hasil imajinasi Polri.
Polri sendiri tidak terlalu menanggapi tudingan tersebut, termasuk dalam kasus-kasus berikutnya. Bahkan sebaliknya, Polri terseret arus opini yang terbentuk ketika itu. Situasi politik yang memanas mulai merembes dalam jajaran instansi penegak hukum ini. Keadaannya makin parah lagi setelah pergantian Kepala Polri Rusdiharjo. Polri malah menjadi ujung tombak para elite politik untuk mendongkel Presiden Abdurrahman Wahid.
Kalaupun kemudian Polri berhasil menangkap pelaku, lebih baik memilih jalan aman dengan menghindar menyebut nama kelompok tersangka terkait dengan agama. Tapi, di kalangan masyarakat hal ini melahirkan berbagai spekulasi.
Salah satu yang paling menonjol, terbentuknya opini bahwa dalang peristiwa peledakan bom adalah Soeharto, sisa Orde Baru, atau TNI. Akibat psikologisnya, masyarakat menjadi apatis dan maklum jika pelaku tidak tertangkap. Atau kalau tertangkap, sosoknya aneh-aneh, termasuk penjual keripik singkong.
***
Pertengahan April 2002, Polri menangkap 13 orang di Desa Saketi, Pandeglang, Provinsi Banten. Mereka aktif melakukan latihan militer di daerah itu. Polisi menyita 9 pucuk senjata api, 7 di antaranya laras panjang. Informasi mengenai kamp latihan ini diperoleh dari Dani, tersangka peledakan bom di Plaza Atrium Senen, Gereja Santa Anna di Kali Malang, dan Gereja HKBP Klender.
Identitas dan peran Dani sendiri waktu itu masih simpang-siur. Malah ada indikasi mengaitkannya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, setelah Menteri Luar Negeri Malaysia membeberkan kepada pers setempat mengenai 10 anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia (KKM) yang melarikan diri ke Indonesia, satu di antaranya Dani, barulah persoalannya menjadi jelas.
Syahrani alias Zia, salah satu di antara 13 orang yang ditangkap di Saketi, adalah warga negara Malaysia. Dani dan Syahrani adalah buronan Polisi Diraja Malaysia dengan tuduhan makar. Keduanya diancam hukuman mati. Syahrani sudah diekstradisikan ke negaranya.
Sebelumnya, atau tepatnya 15 Januari lalu, polisi Filipina menangkap Fathur Rohman Al-Ghozi (32), warga Indonesia asal Madiun (Jawa Timur). Ia dituduh sebagai anggota JI (Jemaah Islamiyah) dan terlibat serangan bom di stasiun kereta api Manila, 30 Desember 2000. Di rumahnya di kawasan Quiapo, Manila, polisi menemukan 17 pucuk senjata M-16, 1 ton bahan peledak, dan sejumlah peralatan lainnya.
Dalam sidang pengadilan, Al-Ghozi mengaku menjalankan perintah Hambali. Peristiwa serangan bom itu, sepekan setelah bom malam Natal di Indonesia, menewaskan 23 orang dan l00 orang dilarikan ke rumah sakit.
Al-Ghozi, alias Rony Asad bin Ahmad, alias Sammy Sali Jamil, tinggal di Mindanao Selatan, Filipina, sejak tahun 1995. Atau setelah usai mengikuti pendidikan agama di Pakistan dan latihan militer di Afganistan. Ia dikabarkan berulang kali masuk ke Indonesia dan ikut mendirikan AMIN.
***
Tanggal 26 Juni 2002, usai mengikuti rapat koordinasi khusus dengan gubernur, Kepala Polda, dan Kajati se-Jawa, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kepada pers, ada kelompok sipil yang mengadakan latihan militer dengan menggunakan senjata standar TNI di luar Jakarta. Ia minta pemerintah daerah meningkatkan kewaspadaan agar konflik politik di daerah tidak meluas menjadi konflik sosial.
Menko Polkam menjelaskan, informasi tersebut diperoleh dari Kepala Polda Metro Jaya dalam rapat tersebut. Tapi anehnya, setelah esoknya berita itu dimuat di halaman depan berbagai media, hari berikutnya muncul pernyataan Polri bahwa informasi yang disampaikan Menko Polkam adalah peristiwa lama.
Tanpa merinci apa yang dimaksud peristiwa lama, tapi jelas adalah penggerebekan dan penangkapan 13 orang yang dilakukan Polri di Desa Saketi, Pandeglang, pertengahan April 2002. Dalam penjelasannya pihak Polri mengatakan, tempat latihan militer itu tetap diawasi.
Ketika terjadi ledakan bom di Kuta, Bali, yang menewaskan 180 orang lebih tanggal 12 Oktober, dan kemudian diikuti pengejaran Imam Samudra, semua mata hanya tertuju pada proses pengejaran dan penangkapan. Demikian pula ketika Imam Samudra "menyanyi" membuka jaringannya, kelompok Serang, dan keterlibatan kelompok ini dalam berbagai pengeboman, dan perampokan.
Popularitas Imam Samudra jauh mengalahkan bosnya, Muklas. Ia menjadi selebriti. Pengakuannya selalu menghiasi halaman depan media massa di dalam maupun luar negeri. Bom bunuh diri yang menghebohkan, muncul dari pengakuan Imam Samudra.
Di semua kota hingga sudut-sudut pedesaan masyarakat bergerombol di depan televisi, mendengar kabar dan menyaksikan lanjutan penangkapan dan pemeriksaan Imam Samudra. Pengejarannya sendiri cukup menegangkan. Apalagi sebelum Amrozi tertangkap, Polri berulang kali salah tangkap, termasuk seorang pria kurang waras.
***
AKAN tetapi, dari semua peristiwa yang berlangsung dengan antiklimaks mirip happy ending dalam sinetron itu, tidak satu pun mempertanyakan tindak lanjut sinyal yang disampaikan Menko Polkam dalam jumpa pers Juni lalu. Padahal, dari sudut intelijen, sinyal tersebut sangat spesifik karena menyebut lokasi dan sedang berlangsungnya aktivitas, yakni kelompok Serang atau juga disebut kelompok Palem, basis jaringan Imam Samudra.
Seandainya aparat keamanan cepat merespons sinyal tersebut, akan terungkap jaringan teroris yang selama ini menghantui masyarakat. Bahkan, barangkali peristiwa bom di Kuta dapat dicegah.
Kamp itu sendiri jelas diketahui polisi terkait dengan jaringan teroris internasional. Seperti diakui Bahrul Alam dalam penggerebekan sebelumnya, anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia ikut terjaring dan diproses secara hukum. Mereka terlibat bom malam Natal, Plaza Atrium Senen, Gereja Santa Ana, dan HKBP Klender. (Sinar Harapan, 27/6-2002)
KMM dibentuk aktivis agama asal Indonesia, termasuk Hambali, dan sejumlah rekannya, alumni Afganistan asal Malaysia. Tujuannya melakukan teror dan pengumpulan dana melalui kekerasan, termasuk perampokan bank. Di Indonesia, dibentuk AMIN, yang fungsinya kurang lebih sama dengan KMM.
Tadinya tempat latihan itu berada di Desa Maseng, Kabupaten Bogor. Namun, setelah heboh pengeboman Plaza Hayam Wuruk, perampokan BCA, pengeboman Istiqlal, hingga pembacokan Matori Abdul Jalil, tempat latihan dipindahkan ke Pandeglang. Baik AMIN maupun KMM adalah sayap militer JI di masing-masing negara.
Lantas apa yang membuat Polri enggan bertindak?
Kita tidak mengatakan Indonesia telah bergeser mengikuti Pakistan. Yakni kalangan militer dan intelijen aktif mensponsori kelompok radikal dan terorisme, serta membangun jaringan internasional. Tapi, ini adalah kesalahan almarhum Presiden Zia Ul Haq dengan ambisinya membangun Front Islam Internasional.
Di Indonesia, masyarakat awam mungkin hanya akan mengatakan, ada kekuatan besar melindungi kelompok yang melakukan latihan militer itu hingga Polri takut bertindak. Seperti halnya kamp latihan militer di Poso, yang sempat dihebohkan.
Namun yang pasti, kedua kamp ini telah melahirkan banyak perakit-perakit bom andal. Maka, selama semua ini belum terungkap tuntas, setiap saat peristiwa Kuta dapat berulang kembali dan membinasakan siapa saja. (Maruli Tobing)
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0212/15/utama/bomm01.htm







Read more!

Bom Bali I (Tahun 2002)

BOM Bali I

Dua bom berkekuatan dasyat telah mengguncang Bali pada 12 Oktober 2002. Lebih dari 200 orang tewas akibat peristiwa tragis itu. Tak cuma itu, lebih dari 200 orang lainnya luka-luka baik ringan maupun parah.

Jika dihitung-hitung, bom yang meledak di dua tempat hiburan di Jalan Legian, Kuta, Bali itu tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari setelah bom yang mengguncang World Trade Center (WTC) Amerika Serikat. Tak cuma warga di Indonesia, dunia pun bergetar mendengar kabar ini.

Berikut kronologi peristiwa bom yang mengguncang dunia itu:

12 Oktober 2002

Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali diguncang bom. Dua bom meleda dalam waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05 Wita. Lebih dari 200 orang menjadi korban tewas keganasan bom itu, sedangkan 200 lebih lainnya luka berat maupun ringan.


Kurang lebih 10 menit kemudian, ledakan kembali mengguncang Bali. Pada pukul 23.15 Wita, bom meledak di Renon, berdekatan dengan kantor Konsulat Amerika Serikat. Namun tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.

16 Oktober 2002

Pemeriksaan saksi untuk kasus terorisme itu mulai dilakukan. Lebih dari 50 orang telah dimintai keterangan di Polda Bali. Untuk membantu Polri, Tim Forensik Australia (asal kebanyakan turis yang menjadi korban) ikut diterjunkan untuk identifikasi jenazah.

20 Oktober 2002

Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom di Paddy's Pub berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot antara 50-150 kg. Sementara bom di dekat konsulat Amerika Serikat menggunakan jenis TNT berbobot kecil yakni 0,5 kg.

29 Oktober 2002

Pemerintah yang saat itu dipegang oleh Megawati Soekarnoputri terus mendesak polisi untuk menuntaskan kasus yang mencoreng nama Indonesia itu. Putri Soekarno itu memberi deadline, kasus harus tuntas pada November 2002.

30 Oktober 2002

Titik terang pelaku bom Bali I mulai muncul. Tiga sketsa wajah tersangka pengebom itu dipublikasikan.

4 November 2002

Polisi mulai menunjukkan prestasinya. Nama dan identitas tersangka telah dikantongi petugas. Tak cuma itu, polisi juga mengklaim telah mengetahui persembunyian para tersangka. Mereka tidak tinggal bersama namun masih di Indonesia.

5 November 2002

Salah satu tersangka kunci ditangkap. Amrozi bin Nurhasyim ditangkap di rumahnya di di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur.

6 November 2002

10 Orang yang diduga terkait ditangkap di sejumlah tempat di Pulau Jawa. Hari itu juga, Amrozi diterbangkan ke Bali dan pukul 20.52 WIB, Amrozy tiba di Bandara Ngurah Rai.

7 November 2002

Satu sketsa wajah kembali dipublikasikan. Sementara itu Abu Bakar Ba'asyir yang disebut-sebut punya hubungan dengan Amrozi membantah. Ba'asyir menilai pengakuan Amrozi saat diperiksa di Polda Jatim merupakan rekayasa pemerintah dan Mabes Polri yang mendapat tekanan dari Amerika Serikat.

8 November 2002

Status Amrozi dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam tindak pidana terorisme.

9 November 2002

Tim forensik menemukan residu bahan-bahan yang identik dengan unsur bahan peledak di TKP. Sementara Jenderal Da'i Bachtiar, Kapolri pada saat itu mengatakan kesaksian Omar Al-Farouq tentang keterlibatan Ustad Abu Bakar Ba'asyir dan Amrozi dalam kasus bom valid.

10 November 2002

Amrozi membeberkan lima orang yang menjadi tim inti peledakan. Ali Imron, Ali Fauzi, Qomaruddin adalah eksekutor di Sari Club dan Paddy's. Sementara M Gufron dan Mubarok menjadi orang yang membantu mempersiapkan peledakan. Polisi pun memburu Muhammad Gufron (kakak Amrozi), Ali Imron (adik Amrozi), dan Ari Fauzi (saudara lain dari ibu kandung Amrozi). Kakak tiri Amrozi, Tafsir. Tafsir dianggap tahu seluk-beluk mobil Mitsubishi L-300 dan meminjamkan rumahnya untuk dipakai Amrozi sebagai bengkel.

11 November 2002

Tim gabungan menangkap Qomaruddin, petugas kehutanan yang juga teman dekat Amrozi di Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Qomaruddin diduga ikut membantu meracik bahan peledak untuk dijadikan bom.

17 November 2002

Imam Samudra, Idris dan Dulmatin diduga merupakan perajik bom Bali I. Bersama Ali Imron, Umar alias Wayan, dan Umar alias Patek, merekapun ditetapkan sebagai tersangka.

26 November 2002

Imam Samudra, satu lagi tersangka bom Bali, ditangkap di dalam bus Kurnia di kapal Pelabuhan Merak. Rupanya dia hendak melarikan diri ke Sumatera.

1 Desember 2002

Tim Investigasi Bom Bali I berhasil mengungkap mastermind bom Bali yang jumlahnya empat orang, satu di antaranya anggota Jamaah Islamiah (JI).

3 Desember 2002

Ali Gufron alias Muklas (kakak Amrozi) ditangkap di Klaten, Jawa Tengah.

4 Desember 2002

Sejumlah tersangka bom Bali I ditangkap di Klaten, Solo, Jawa Tengah, di antaranya Ali Imron (adik Amrozi), Rahmat, dan Hermiyanto. Sejumlah wanita yang diduga istri tersangka juga ditangkap.

16 Desember 2002

Polisi menangkap anak Ashuri, Atang, yang masih siswa SMU di Lamongan. Tim juga berhasil menemukan 20 dus yang berisi bahan kimia jenis potassium klorat seberat satu ton di rumah kosong milik Ashuri di Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Lamongan yang diduga milik Amrozi.

18 Desember 2002

Tim Investigasi Gabungan Polri-polisi Australia membuka dan membeberkan Dokumen Solo, sebuah dokumen yang dimiliki Ali Gufron. Dalam dokumen tersebut berisi tata cara membuat senjata, racun, dan merakit bom. Dokumen itu juga memuat buku-buku tentang Jamaah Islamiah (JI) dan topografi suatu daerah serta sejumlah rencana aksi yang akan dilakukannya.

6 Januari 2003

Berkas perkara Amrozi diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi Bali.

16 Januari 2003

Ali Imron bersama 14 tersangka yang ditangkap di Samarinda tiba di Bali.

8 Februari 2003

Rekonstruksi bom Bali I

12 Mei 2003

Sidang pertama terhadap tersangka Amrozi.

2 Juni 2003

Imam Samudra mulai diadili.

30 Juni 2003

Amrozi dituntut hukuman mati

7 Juli 2003

Amrozi divonis mati

28 Juli 2003

Imam Samudra dituntut hukuman mati.

10 September 2003

Imam Samudra divonis mati.

28 Agustus 2003

Ali Gufron alias Muklas dituntut hukuman mati

2 Oktober 2003

Ali Gufron divonis mati.

30 Januari 2007

PK pertama Amrozi cs ditolak

30 Januari 2008

PK kedua diajukan dan ditolak

1 Mei 2008

PK ketiga diajukan dan kembali ditolak

21 Oktober 2008

MK tolak uji materi terhadap UU Nomor 2/Pnps/1964 soal tata cara eksekusi mati yang diajukan Amrozi cs.

9 November 2008

Amrozi cs dieksekusi mati di Nusakambangan.


Kejadian ini terjadi tepat setahun sebulan dan sehari setelah tragedi runtuhnya Gedung WTC di Amerika pada tanggal 11 september 2001.


Kesan Negatif Pengusutan Bom Bali

AK lebih dari sebulan, polisi sudah mengungkap jaringan teroris pelaku peledakan bom di Legian, Kuta, Bali. Padahal, dua minggu sebelumnya, polisi masih berkutat pada ketidakjelasan. Amrozi (35 tahun), warga Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, ditangkap dan ditetapkan sebagai salah seorang tersangka pelaku peledakan. Walaupun wajahnya tak mirip sketsa tersangka yang disebar polisi, pria yang pendidikannya cuma sampai kelas 3 SLTP itu oleh polisi dijadikan tokoh kunci peledakan bom di Bali.

Banyak pihak memuji dan memberi acungan jempol atas kesigapan polisi. Namun tak sedikit yang meragukan kesahihan dan objektivitas temuan Tim Investigasi Bom Bali. Mantan Kepala Bakin ZA Maulani menyatakan, perakitan bom itu tidak mungkin dilakukan di Indonesia. "Teman-teman saya yang sarjana kimia saja tidak bisa buat bom sedahsyat itu," katanya.

Keraguan serupa juga diungkapkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, Ketua MPR Amien Rais, dan pengamat intelijen juga mantan staf Bakin Soeripto. KSAD secara tegas menyatakan tak percaya bom bali hasil rakitan Amrozi. "Kami saja belum memiliki kemampuan memproduksi bahan peledak secanggih itu. Bom yang meledak di Bali begitu dahsyat, saya yakin itu dari luar negeri," tegas Ryamizard (Suara Merdeka, 13/11/2002).

Keraguan, bahkan juga kecurigaan, terhadap proses pengungkapan bom Bali sebenarnya sudah muncul sejak awal tragedi yang menewaskan ratusan orang dan ratusan luka-luka itu. Respon negatif beberapa kalangan itu dikarenakan adanya kesan negatif dari proses dan arah pengusutan. Bahkan mereka curiga ada rekayasa dan skenario global untuk menyudutkan kelompok tertentu.

Setidaknya, ada tiga kesan negatif yang mengemuka, yang bersangkut paut satu sama lain. Pertama, adanya tekanan asing, khususnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, dalam pengungkapan bom Bali. Kesan ini bukan tanpa alasan. Belum lagi penyelidikan dilakukan bahkan Tim Investigasi Bom Bali pun belum terbentuk, Presiden AS George Walker Bush dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer langsung menuding Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyyah sebagai pelaku bom Bali. Kesan ini makin kuat ketika tuduhan itu langsung diamini pejabat RI Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil. Menhan menilai pelaku bom Bali adalah Al-Qaidah domestik.

Sekedar mengingatkan, sampai detik ini, tak ada bukti keterlibatan Al-Qaidah dalam peledakan gedung WTC. Direktur FBI Robert Muller pernah mengaku tak menemukan selembar pun bukti yang memberi indikasi Usamah dan Al-Qaidah terlibat. Sehingga pernyataan bahwa Al-Qaidah dan Usamah itu teroris hanyalah tuduhan tanpa bukti dan proses pengadilan, yang merupakan rekayasa AS untuk misi tersembunyi. Bahkan karena merasa tuduhannya lemah, Presiden Bush belakangan punya tuduhan baru bahwa pelaku tragedi WTC adalah teroris Irak. (Republika, 10/11/2002)

Kesan pertama ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan AS-lah dalang bom Bali. Pemerintah AS kecewa karena pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Megawati, paling lemah dalam mata rantai global melawan terorisme yang dimotori AS dan sekutunya. Pemerintah Singapura, Filipina dan Malaysia sebagai negara tetangga Indonesia dianggap telah cukup serius berusaha menangkap sejumlah tersangka teror, bahkan mengadili dan menahannya.

Sementara pemerintahan Megawati masih berdebat mengenai perlu-tidaknya RUU Antiterorisme dan ada-tidaknya jaringan terorisme internasional di Indonesia. Oleh karena itu, dengan ledakan bom di Bali yang menggemparkan dunia itu, AS berharap Pemerintah Indonesia tidak bisa mengelak lagi bahwa ada jaringan teroris di negaranya.

Selain itu, kecurigaan campur tangan AS juga diperkuat oleh arah pengusutan yang terkesan mengabaikan kemungkinan keterlibatan atau konspirasi pihak asing. Polisi dinilai menganggap angin lalu temuan lapangan beberapa tim investigasi independen dan analisis ahli bom bahwa jenis bom Bali adalah C4 atau sejenis mikronuklir/termonuklir, yang diketahui hanya diproduksi oleh AS dan Israel.

Jangan heran bila Presiden Majelis Pimpinan Pusat Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), Habib Husein Al-Habsyi, berkomentar sinis bahwa apa yang terjadi di Bali seperti sinetron. George Bush produsernya, Da'i Bachtiar sutradaranya, Edward Aritonang operatornya, dan Amrozi pemain utamanya. (Republika, Minggu, 17/11/2002)

Apalagi Tim Investigasi Bom Bali yang dibentuk Mabes Polri, dibawah komando Irjen Pol I Made Mangku Paskita, tidak bekerja sendirian. Tim masih dibantu lagi oleh polisi negara luar, seperti AS, Australia, Inggris, Perancis, Swedia, Jepang, Filipina, dan Hongkong (Kompas, 17/11/2001). Meskipun hanya "pembantu", bantuan yang diberikan polisi asing itu menyangkut hal-hal vital dalam proses pengungkapan. Yakni, menyangkut DVI (Disaster Victims Identification) dan CSE (Crime Scheme Examination). DVI membantu mengidentifikasi para korban yang sudah tidak utuh dan sulit dikenali. Sementara CSE membantu membuat skema kejahatan. Di tengah keterbatasan teknologi yang dimiliki Polri serta keunggulan teknologi polisi asing, maka besar kemungkinan peran dan pengaruh polisi asing menjadi kuat dan dominan dalam proses pengusutan yang dilakukan Tim Investigasi Bom Bali.

Mendiskreditkan Islam
Kesan negatif yang kedua, pengusutan bom Bali cenderung mendiskreditkan umat Islam, khususnya gerakan Islam. Tuduhan bahwa peledakan bom dilakukan oleh Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyyah, penangkapan Amir Majelis Mujahiddin Indonesia Abu Bakar Ba'asyir hingga penggebrekan di Pondok Pesantren Al-Islam, seakan memperkuat stigma bahwa tindak kekerasan itu dilakukan oleh orang Islam, tepatnya kelompok Islam garis keras (militan-fundamentalis).

Kesan kedua ini juga ada kaitannya dengan uraian kesan pertama. Perlu diingat, usai tragedi WTC dan serangan AS ke Afghanistan, masyarakat Islam di Indonesia kerap berdemo anti-Amerika. Ormas-ormas Islam malah sering menyuarakan penegakan syariat Islam. Dari sinilah, AS mulai membidik Indonesia sebagai target propaganda perangnya terhadap terorisme. Melalui propagandisnya seperti Paul Wolfowitz, John Aschroft, Rohan Gunaratna, Lee Kwan Yu dan Yael Shahr, AS menyebut Indonesia sarang teroris. AS menuding Al-Qaidah telah membangun sel-sel pelatihan teroris di Poso, Ambon, dan Kalimantan (Pesantren Hidayatullah), dengan Abu Bakar Ba'asyir yang dicap pemimpin Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara sebagai pentolannya. Karena itu, wajar bila ada anggapan penangkapan Ba'asyir oleh Polri beberapa waktu lalu sebagai pesanan AS.

Bahkan, Koalisi Masyarakat Pemantau Independen Antiteror yang dibentuk beberapa ormas Islam seperti KISDI, KAMMI, JMP, CIR dll, menganalisis, pemilihan lokasi sasaran bom di Legian, Kuta, Bali merupakan bagian dari skenario menggiring opini publik bahwa pelakunya umat Islam (Saksi, 12/11/2002). Pemilihan night club dan café sebagai sasaran ada kaitan dengan fenomena sebelumnya dimana ada kelompok yang dicap "teroris" melakukan perusakan tempat hiburan malam seperti Front Pembela Islam (FPI).

Mengapa tempat hiburan favorit bagi turis asal Australia yang ditargetkan? Sebab sebelumnya ada tokoh yang menantang pemerintah Australia dengan garang, yaitu Abu Bakar Ba'asyir. Mengapa Bali? Karena Bali merupakan "simbol wisata dunia" sehingga mengundang perhatian masyarakat dunia secara luas, sebagaimana peledakan gedung kembar WTC di New York sebagai "simbol ekonomi global" dan gedung Pentagon sebagai "simbol pertahanan negara superpower". Di samping itu, tragedi Kuta juga mengingatkan orang pada penembakan di kota wisata Luxor, Mesir tahun 1977 yang kebetulan melibatkan organisasi bernama Jamaah Islamiyah. Organisasi berbasis di Mesir inilah yang diasosiasikan berjaringan dengan Abu Bakar Ba'asyir, dan selanjutnya berjaringan dengan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.
Dan mengapa Indonesia yang dijadikan sasaran peledakan? Jawabannya seperti yang sudah diuraikan di atas.

Ditunggangi
Kesan negatif yang ketiga adalah adanya kepentingan politik yang menunggangi kasus bom Bali terkait pemilihan presiden langsung dan Pemilu 2004. Siapa lagi pihak yang ditunjuk kalau bukan Megawati, presiden sekaligus ketua partai politik. Mega dianggap "sengaja membiarkan" pengungkapan bom Bali makin menyudutkan umat Islam. Harapannya, citra tokoh dan parpol Islam akan memburuk. Target akhirnya, Mega terpilih kembali sebagai presiden dan partainya (PDI Perjuangan) menguasai kursi di DPR dan DPD dalam Pemilu 2004.

Kesan atau lebih tepatnya isu ini barangkali berlebihan. Tapi, sekali lagi, kesan atau isu tersebut benar-benar ada di masyarakat. Dan sekali lagi, bukannya tanpa alasan. Apalagi sikap pemerintahan Megawati sangat lemah menghadapi tekanan asing yang dinilai mendiskreditkan umat Islam. Mega dinilai tidak tegar sebagai pemimpin, dan gagal menjaga kewibawaan bangsa dan negara di hadapan negara asing.

Jika isu ini meluas, apalagi benar, maka bisa memunculkan kembali sentimen anti-Megawati. Perlu diingat, menjelang Pemilu 1999, Mega pernah digugat kalangan Islam karena mayoritas calon anggota legislatif PDIP berasal dari kalangan non-Muslim. Saat itu Mega juga dipertanyakan keislamannya karena pernah bersembahyang di pura. Kalau sentimen ini menguat akan menjadi batu sandungan tersendiri bagi Mega untuk kembali menduduki kursi RI-1.

Munculnya kesan-kesan negatif di atas, yang juga penulis dapatkan pada hampir semua aktivis gerakan Islam yang pernah penulis temui, menunjukkan Polri gagal atau belum berhasil mengomunikasikan kinerjanya dalam pengungkapan bom Bali kepada masyarakat. Lepas dari benar-tidaknya penyebab munculnya kesan negatif tersebut, Polri, dalam hal ini Tim Investigasi Bom Bali, perlu membeberkan kinerja dan hasilnya secara transparan. Sebab ini menyangkut objektivitas dan kejujuran.

Tindakan penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap Ponpes Al-Islam, Desa Tenggulan, Lamongan dan siapa saja yang dicurigai, telah menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya di Jawa Timur. Sampai-sampai untuk mengatasi keresahan tersebut, Pemprov Jatim bersama Polda, Kodam V/Brawijaya, PW NU, PW Muhammadiyah dan MUI Jatim, Sabtu (16/11) lalu, perlu membentuk tim untuk meminimalisir keresahan.

Sekali lagi, jika Tim Investigasi Bom Bali tidak menunjukkan objektivitas, kejujuran dan transparansi, maka keraguan dan kecurigaan yang ada bukannya hilang, malah makin bertambah dan menguat. Masyarakat pun semakin resah oleh ketidakpastian dan dicekam kekhawatiran: "Jangan-jangan saya nanti juga ikut ditangkap dan dituduh teroris.".

Menaggulangi Terror Bom



SUATU hal yang layak mendapatkan acungan jempol adalah spontanitas
beberapa orang Indonesia untuk dengan cepat berkumpul bersama
membicarakan masalah bom yang mengguncang kekhusukan masyarakat pada
malam Natal 24 Desember 2000.

Salah satu di antaranya adalah pembentukan Forum Indonesia Damai (FID)
yang bermaksud membantu pengusutan melalui fact-finding terhadap
perbuatan khianat tersebut. Tetapi, reaksi cepat semacam itu
seharusnya yang melakukan adalah pemerintah dengan membentuk forum
yang disebut crisis-center sesuai standard operation procedure (SOP)
penanggulangan terror di banyak negara.

Crisis-center terdiri dari para pejabat yang berwenang dari lembaga
eksekutif dan legislatif yang didukung oleh yudikatif. Dalam hal ini
kewenangan, legalitas, dan kualifikasi pengusut sangat diperlukan
termasuk untuk mengakses berbagai data dalam documents intelijen
berklasifikasi rahasia yang ada dalam birokrasi dan organisasi
pemerintahan terkait.

Spontanitas masyarakat dalam menyikapi terorisme di banyak negara
memang cukup bervariasi. Mulai dari pesimisme, apatisme, sekadar
memberikan informasi kepada aparat keamanan, apriori terhadap aparat
keamanan, sampai dengan tindakan sepihak terhadap kelompok tertentu
yang dianggap bertanggung jawab. Spontanitas terakhir tersebut pernah
terjadi di Spanyol, di mana Grupo Anti-Terorista de Liberacion (GAL)
atau kelompok ekstrem sayap kanan di Spanyol melakukan pembunuhan
sepihak terhadap para anggota ETA dan faksi-faksi militan Basque
lainnya, hanya karena faksi-faksi militan tersebut sering
diidentifikasikan sebagai kelompok teroris. Masalahnya sekarang
seberapa efektifkah berbagai spontanitas masyarakat seperti itu bagi
keberhasilan penanggulangan terorisme di Indonesia?

Tindakan sepihak oleh faksi-faksi dalam masyarakat kita jika sampai
terjadi seperti apa yang dilakukan GAL, tentu harus dihindari karena
justru akan memperburuk situasi. Sekalipun tujuannya ikut menumpas
terorisme, tindakan yang diambil akan cenderung anarkhis karena tidak
melalui mekanisme yang legal. Belum lagi pengaruh kecurigaan mereka
terhadap kelompok-kelompok yang selama ini "diidentikkan" dengan
teroris, sangat berpotensi menimbulkan kesimpulan yang salah.

Demikian juga dengan spontanitas masyarakat yang hanya didasari atas
rasa curiga mencurigai saja justru dapat menghambat upaya-upaya
penanggulangannya. Publik boleh saja, misalnya, trauma terhadap
kinerja TNI pada masa lalu yang sering dianggap memiliki agenda
politik. Publik juga bisa saja trauma terhadap TNI karena ada oknumnya
yang terlibat dalam pengeboman Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun
lalu. Atau publik bisa saja curiga karena ada indikasi penggunaan TNT
dalam berbagai pengeboman pada malam Natal yang lalu, yang oleh
sebagian kalangan dianggap hanya diproduksi oleh instansi tertentu
(arahnya tentu TNI). Implikasinya, ada spontanitas masyarakat dalam
mengungkap pengeboman malam Natal, yang lebih didasarkan pada
kecurigaan "keterlibatan" TNI ataupun oknumnya, sehingga secara
institusional TNI dianggap akan mempersulit upaya pengungkapannya.

Betapa pun tercelanya kiprah TNI di masa lalu, para prajurit TNI
adalah masyarakat Indonesia yang sama seperti kita semua, yang bisa
belajar dari kesalahan masa lalu dari para pendahulunya dan ingin
memperbaiki diri. Segala koreksi kepada TNI yang telah diberikan oleh
masyarakat sejak era reformasi tentu sangat dimengerti dan diakomodasi
secara bijak oleh para prajurit.

Bahkan para prajurit TNI pun kini tengah berupaya sekuat tenaga untuk
bersikap lebih terbuka, lebih obyektif, dan lebih profesional untuk
memperbaiki citranya. Pada kondisi seperti ini mustahil bagi TNI
sebagai institusi menghalangi upaya pengungkapan pengeboman laknat
tersebut, siapa pun pelaku yang dicurigai termasuk mungkin oknum
anggotanya.

Oleh karena itu, spontanitas masyarakat yang lebih diharapkan
sebenarnya adalah semangat kooperatif dalam mencari informasi sekitar
insiden pengeboman tersebut, sehingga bersifat complementary bagi
crisis-center pemerintah. Bagaimanapun efektivitas dan kecepatan
pengungkapan insiden tersebut akan lebih baik melalui partisipasi
aktif masyarakat.

Bagaimana mewujudkannya? Salah satu alternatif yang dapat dilakukan
pemerintah adalah memberikan reward kepada mereka yang dapat
memberikan informasi tentang pelaku pengeboman malam Natal yang lalu.
Reward tersebut dapat berupa uang bila diberikan oleh masyarakat awam
atau konsesi-konsesi tertentu seperti pembebasan dari penuntutan atau
pengurangan hukuman bila diberikan oleh para anggota kelompok pelaku
yang terlibat atau ada kaitannya dengan pengeboman tersebut.

Sejauh mana efektivitas alternatif cara bertindak ini? Sebagai
perbandingan kita dapat melihat keberhasilan Pemerintah Italia dan
Amerika Serikat yang pernah menggunakan metoda yang seperti itu.
Pemerintah Italia ketika menumpas Brigate Rosse (Brigade Merah),
kelompok teroris sayap kiri yang bertanggung jawab terhadap
serangkaian penculikan dan pengeboman sepanjang dekade tahun 1970-1980
termasuk pembunuhan terhadap Perdana Menteri Aldo Moro, adalah dengan
memberikan reward besar-besaran kepada siapa saja yang dapat
memberikan informasi.

Hal ini ternyata sangat efektif karena dalam kurun waktu satu tahun,
kelompok teroris tersebut secara internal terpecah-belah sehingga
praktis sejak era tahun 1980-an mereka tidak memiliki kekuatan lagi.
Demikian juga halnya dengan Amerika Serikat ketika mengungkap
pengeboman Gedung World Trade Center New York pada tanggal 26 Februari
1993. Pemerintah Amerika Serikat menawarkan hadiah sebesar 2 juta
dollar AS bagi mereka yang dapat memberikan informasi sehingga dalam
kurun waktu enam bulan pemerintah dapat menangkap 20 orang pelakunya.

Sekalipun demikian partisipasi aktif masyarakat tersebut harus
diimbangi oleh sikap tegas pemerintah dalam menghadapi terorisme.
Dalam hal ini pemerintah harus dapat memberikan "pesan" kepada publik
bahwa setiap tindakan terorisme akan senantiasa dihadapi dengan
hukuman yang sangat berat seperti hukuman mati atau seumur hidup.
Mengapa tidak? Selama hal tersebut dapat terakomodasi oleh sistem
hukum positif kita, metoda ini akan menjadi salah satu penangkal
terorisme yang sangat efektif.

Metode seperti ini juga pernah dilakukan beberapa negara yang ternyata
cukup memberikan hasil yang sangat efektif. Kelompok teroris sayap
kiri Jerman Baader-Meinhof, yang telah melakukan beberapa pengeboman
dan pembunuhan dapat ditumpas habis setelah pengadilan Jerman
menjatuhi hukuman seumur hidup kepada para pemimpin kuncinya termasuk
Andreas Baader dan Ulrike Meinhof, yang kemudian menghabisi nyawanya
sendiri di penjara.

Demikian juga dengan pengadilan Peru yang sejak tahun 1992 mulai
memberikan sanksi hukuman mati atau seumur hidup kepada para anggota
Sendero Luminoso, salah satu faksi radikal komunis Peru yang
bertanggung jawab terhadap serangan bom, penculikan, dan sabotase
sepanjang tahun 1970-1994, sangat efektif menghentikan terorisme
kelompok tersebut. Hal yang sama juga dilakukan Pemerintah Spanyol
sejak tahun 1990 ketika menumpas Euzkadita Azkatasuna (ETA), salah
satu faksi garis keras Basque yang bertanggung jawab terhadap
serangkaian serangan bom dan penculikan sepanjang periode tahun
1959-1992 sehingga eksistensi kelompok ini semakin melemah.

Metode pemberian hukuman seperti ini seyogianya sudah mulai dilakukan
terhadap para pelaku pengeboman BEJ yang saat ini tengah dalam proses
pengadilan. Ada dua sasaran yang dapat dicapai bila pengadilan yang
tengah berlangsung tersebut dapat memberikan vonis hukumannya dalam
waktu dekat.

Pertama, hukuman mati atau seumur hidup tersebut dalam banyak hal akan
mencegah kelompok teroris lain yang mungkin sedang merencanakan
tindakan-tindakan serupa di kemudian hari.

Kedua, kombinasi hukuman berat tersebut dengan reward pembebasan
tuntutan atau pengurangan masa hukuman, dalam banyak hal akan membuat
bimbang para pelaku pengeboman di malam Natal yang baru lalu.

Sekalipun para pelaku pengeboman tersebut merupakan suatu tim yang
tentunya telah dilatih dan dipersiapkan, integritas masing-masing
individunya tidak mungkin sama. Seperti halnya working team lain di
berbagai bidang, tentu ada saja di antara mereka yang menjadi motor
dan ada pula yang hanya bertindak sebagai pengikut. Mereka yang
berstatus sebagai pengikutlah yang biasanya lebih mudah mengubah
pendiriannya bila dihadapkan pada konsesi-konsesi yang lebih
menguntungkan.

Oleh karena itu, bila pemerintah dapat segera menunjukkan betapa
beratnya hukuman bagi mereka yang terlibat terorisme dan betapa
menguntungkannya bagi mereka yang dapat memberikan informasi tentang
pelaku pengeboman, saya optimis crisis-center pemerintah yang kini
diwujudkan melalui tim khusus pimpinan Kepala Kepolisian RI, tidak
akan memerlukan waktu yang lama dalam mengungkap pengeboman malam
Natal tersebut.

Ancaman yang membayangi jika kita gagal mengungkapnya secara tuntas.
Bangsa Indonesia mungkin akan mengalami bermunculannya kloning-kloning
Abu Nidal (komandan Revolutionary Council of Fatah) yang dituduh telah
melakukan serangkaian terorisme di Roma (1985), Bandara Wina (1985)
dan pengeboman pesawat PanAm di atas Lockerbie Scotland (1988)
sehingga menewaskan 270, yang sampai saat ini masih tidak tersentuh.



Peran Para Tersangka Bom Bali

Proses eksekusi Amrozi, Ali Gufron dan Imam Samudra berlangsung tepat pukul 00.15 Wib dini hari Ahad. Ketiganya tewas seketika saat peluru panas menghantam jantung.

Amrozi cs divonis sebagai pelaku pemboman Padi's Bar dan Sari Club di pulau Bali. Peristiwa bom Bali I terjadi 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang.

Eksekusi hukuman mati trio bomber Bali I menuai kontroversi. Pakar Hukum Universitas Padjadjaran Prof Dr I Gede Pantja Astawa MH, menilai pelaksanaan eksekusi tersebut sebagai konsekuensi implementasi perundang-undangan yang ada di Indonesia, melalui proses panjang ari penangkapan, pemeriksaan, penuntutan hingga vonis di pengadilan. Dituturkannya,"Begitu upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan penasihat hukum ketiganya ditolak, secara hukum Kejagung sudah bisa melaksanakan eksekusi."

Eksekusi tersebut melegakan sebagian publik Australia. Kelegaan itu tercermin dari komentar sejumlah keluarga korban kepada media Australia, Minggu pagi.

Sebagaimana dilansir The Herald Sun, Maria Kotronakis, warga Sydney yang kehilangan dua saudara perempuannya dalam tragedi bom Bali I sangat senang karena keadilan yang mereka tunggu-tunggu sejak lama akhirnya datang.

Sementara itu Kontras, menilai hukuman mati terhadap Amrozi cs tidak perlu diberlakukan.Koordinator Kontras Usman Hamid mengatakan,"Kita tetap tidak setuju dengan hukuman mati Amrozi Cs. Bukan karena dia Amrozi, Muklas atau Imam Samudera, tapi sebagai manusia."

Menurut Usman, eksekusi terpidana mati Bom Bali I ini juga memperlambat semangat pembaruan hukum di Indonesia. Sebab, revisi UU KUHP sejak tahun 1980-an sampai 1990-an hingga kini tidak jalan.

Ditegaskan Usman, pilihan hukuman mati bagi para narapidana bukan pilihan yang paling tepat. Selain bertentangan dengan konstitusi dan hak-hak asasi manusia, juga tidak akan mungkin menciptakan efek jera.

Usman menilai tidak tepat apabila pemerintah menganggap penerapan hukuman mati bisa menghapus terorisme. Dikatakannya, "Tidak benar juga kalau pemerintah kehilangan kewibawaan jika tidak mengeksekusi mati. Tetap diberikan hukuman, tapi dapat diganti dengan hukuman seumur hidup dan itu kewenangannya ada di Presiden.

Terkait semangat pembaruan hukum di Indonesia, Usman menerangkan, tidak ada yang berubah dalam RUU KUHP. Seharusnya, hukuman mati bukan hukuman yang mutlak, tapi bisa diterapkan dengan masa percobaan hukuman 10 tahun penjara terlebih dahulu.

Ketua PCI NU Australia-Selandia Baru, H.S.Eko Zuhri Bernada memandang eksekusi terhadap tiga pelaku Bom Bali 2002 tidak menyelesaikan masalah dan tidak berprikemanusiaan bahkan justru memenuhi keinginan mereka untuk menjadi martir. Dituturkannya, "Hukuman mati hanya memenuhi keinginan mereka untuk menjadi martir. Citra martir itu pun kini sudah terjawab di masyarakat seperti adanya orang yang menjual baju kaos bergambar Amrozi."
Sejumlah orang tak dikenal menempelkan poster dukungan dan simpati kepada Amrozi cs di sepanjang jalan Ngagel Jaya Selatan hingga Bung Tomo dan AJBS. Dalam poster berukuran 50 cm x 100 cm, tertulis "Mujahid Bisa Mati, Tapi Jihad Akan Tetap Berlanjut","Amrozi Syahid, Eksekutor Sangit", "Syahidnya Amrozi Cs Benih Daulah Islam" "Amrozi Mujahid Vs Amerika Teroris", "Membunuh Amrozi Cs = menunai Bencana", "Syahid 3 tubuh, tumbuh 3000 Mujahid", "Ya Allah hancurkan eksekusi Amrozi Cs", "Ya Mujahid balas eksekutor."
Menurut Eko Zuhri hukuman mati tidak menyelesaikan masalah di tengah kesimpang-siuran opini di masyarakat Indonesia terkait dengan kasus mereka. Kandidat doktor Universitas Nasional Australia (ANU) ini menegaskan,"Yang dilakukan Amrozi dkk di Bali enam tahun lalu tetap salah karena Indonesia bukanlah lokasi perang melainkan tempat damai sehingga membunuh warga sipil yang tidak bersalah tidak dapat dibenarkan."

Dewan Penasihat Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais meragukan kemampuan Amrozi dan kawan-kawan membuat bom Bali. Oleh karena itu pemerintah harus mencari dalang yang sebenarnya.

Amin Rais saat berkunjung ke Pasar Ujungberung, Bandung, Sabtu (8/11) mengatakan, "Seorang santri yang sederhana tidak mungkin dapat membuat bom seperti bom Bali. Saya sudah bertanya kepada teman-teman doktor fisika, dan ternyata bom sebesar itu harus dibuat di laboratorium".

Ia mengatakan pemboman Bali itu adalah tindakan radikal, sehingga sudah seharusnya penyelidikan bergeser ke dalang yang sebenarnya, jangan hanya sampai Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron.

Sebelumnya Amien Rais pernah meminta rekonstruksi agar Amrozi merakit bom dengan diberikan bahan-bahan bom persis sama dengan yang pernah dipakainya untuk meledakkan bom di Bali. Sayangnya, rekonstruksi ini tak pernah dilakukan. Sehingga tak pernah bisa dibuktikan bahwa Amrozilah yang membuat bom yang meledak dan menewaskan ratusan orang di Bali itu. Kasus bom Bali memang menyisakan kontroversi.

Keraguan senada juga pernah dikemukakan Mantan Kabakin almarhum ZA Maulani. Menurut Maulani sebagaimana dituturkan Muhammad Al Khaththath,
bom yang meledak di Paddys Club pada peristiwa Bom Bali I bukan bom biasa melainkan mikro nuklir yang hanya diproduksi di Amerika, Perancis dan Israel. Dikatakannya, Amrozi cs tak mungkin bisa membuat bom mikro nuklir sedahsyat itu.

Sekjen Forum Umat Islam Muhammad Al-Khaththath menilai lebih dari 100 terpidana mati yang ditahan di penjara belum juga dieksekusi. Bahkan, ada yang sudah 38 tahun lebih tapi masih hidup sampai saat ini. Dengan nada aneh Al-Khaththath menuturkan, "Mengapa media massa kita banyak yang memberitakan seolah-olah ada tekanan dari publik agar eksekusi mati Amrozi Cs segera dilaksanakan. Ada apa sebenarnya? Apakah pemerintah SBY sekedar ingin mendapat rapor baik atau bagaimana?"

Beberapa waktu lalu, beredar buku yang menggegerkan berjudul "Di Balik Berita Bom Kedutaan Besar Australia & Skandal Terorisme". Dalam buku tersebut terdapat ulasan menarik berjudul "Zionis Yahudi Meledakkan Nuklir di Kedutaan Besar Australia-Indonesia".
Laporan itu ditulis oleh analis bom dari Australia Joe Vialls, disertai foto-foto dan hasil rekaman kamera yang tidak dapat berbohong. Misalnya analisa dari bentuk asap yang dihasilkan oleh bom yang meledak di depan Kedubes Australia-Jakarta berwarna putih dan membentuk mirip cendawan. Warna dan bentuk asap seperti itu hanya bisa dihasilkan oleh sebuah ledakan nuklir, bukan oleh potassium chlorat atau TNT. Demikian pula bom yang meledak pada Bom Bali I.

Uji coba nuklir AS di gurun Nevada memberikan perbandingan yang nyata, bahwa bom yang meledak pada Bom Bali I dan Kedubes Australia-Indonesia adalah sejenis nuklir. Foto asap pada ledakan Bom Bali I dapat dilihat di majalah Sabili (20 Oktober 2005) yang berwarna oranye dan membentuk seperti jamur.

Selain bekas ledakannya membentuk semacam kawah (lebar 4m, panjang 7m, dan kedalaman 1,5m), korban terbakar di dalam kafe Sari Club seperti "bandeng presto", tubuhnya utuh tapi tulangnya hancur sehingga tidak bisa diangkat kecuali dialasi kain di bawahnya. Jika pelaku kedua bom tersebut adalah JI, maka pertanyaannya adalah, dari mana mereka mendapatkan akses bahan-bahan peledak tersebut. Sementara peran Amrozi yang membawa karbit (potassium chlorat) dari Lamongan ke Bali pada Bom Bali I dapat dideteksi aksesnya. Mengapa bahan peledak pada Bom Bali II yang sempat dipublikasi media berupa TNT tidak terdeteksi akses perolehannya? Lalu siapa dalang semua ini ?


Monumen Bom Bali

Berbagai persiapan menjelang peringatan enam tahun tragedi bom Bali I di Ground Zero, Legian, Kuta, Bali, sejak Sabtu (11/10) telah dilakukan. Sejumlah wisatawan lokal dan asing juga banyak mengunjungi monumen kemanusiaan yang mencatat lebih dari 200 orang tewas dalam tragedi tersebut.

Di monumen Ground Zero saat ini tidak terlihat persiapan yang mencolok, hanya pemasangan bendera negara-negara yang warganya ikut menjadi korban. Berbagai karangan bunga diletakkan di depan monumen. Banyak wisatawan menyempatkan melihat nama-nama para korban di papan monumen sambil mengabadikan diri dengan latar belakang monumen tersebut.

Kalau anda sedang liburan di kawasan Kuta atau Legian, pastinya akan pernah melewati tempat yang satu ini, tepatnya sebuah monumen peringatan. Di monumen ini terpahat nama-nama korban Bom Bali I sebanyak 202 orang. Monumen lebih dikenal dengan nama monumen peringatan bom Bali.

Tempat ini juga menjadi favorit sebagai backdrop untuk sekedar photo-photo bagi para pengunjung. Pada tanggal 12 Oktober tiap tahunnya diadakan peringatan di tempat ini yang dihadiri oleh keluarga korban dan perwakilan negara-negara sahabat. Prosesi di sore harinya dilanjutkan di pantai Kuta yang bertajuk “Paddle for peace”. Gema perdamaian dan renungan pun dikumandangkan.

Label:


Read more!

Selasa, 25 Agustus 2009

Teror Bom di Indonesia

BOM - Bom di Indonesia

Semenjak tahun 1962, Indonesia sudah mencatat puluhan kali ledakan bom terjadi dalam skala kecil dan besar, setengahnya terjadi di Jakarta.


Catatan dimulai pada 1962 dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan presiden pertama RI, Ir Soekarno, Kolonel Zulkifli Lubis salah satunya yang disinyalir terlibat di balik peristiwa ‘granat Cikini’.

11 November 1976:
Di Masjid Nurul Iman, Padang. Pelakunya adalah Timzar Zubil, tokoh yang disebut pemerintah sebagai Komando Jihad. Tapi, Timzar tidak pernah ditemukan sampai sekarang.

20 Maret 1978: Sekelompok pemuda melakukan peledakan di beberapa tempat di Jakarta dengan bom molotov, dan membakar mobil presiden taksi untuk mengganggu jalannya sidang umum MPR.

14 April 1978:
Masjid Istiqlal, Jakarta. Sampai sekarang, ledakan bom dengan bahan peledak TNT itu tetap jadi misterius.

4 Oktober 1984:
Ledakan bom di BCA, Jalan Pecenongan, Jakarta Barat. Pelakunya adalah Muhammad Jayadi, anggota Gerakan Pemuda Ka'bah (anak organisasi Partai Persatuan Pembangunan) lantaran protes terhadap peristiwa Tanjungpriok 1983. Jayadi yang tidak dikenal sebagai anggota Gerakan Pemuda Ka'bah kemudian dijatuhi hukuman penjara 15 tahun setelah mengaku menjadi pelaku peledakan.

Saat bersamaan, juga terjadi ledakan di BCA dan Kompleks Pertokoan Glodok, Jakarta dengan pelaku Chairul Yunus alias Melta Halim, Tasrif Tuasikal, Hasnul Arifin yang juga merupakan anggota Gerakan Pemuda Ka'bah. Mereka dijatuhi hukuman penjara dan dipecat dari keanggotaan Gerakan Pemuda Ka'bah.

Selain itu, ledakan juga terjadi di BCA Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat dengan pelaku Edi Ramli, juga anggota Gerakan Pemuda Ka'bah. Siapa dalang pemboman, sebenarnya masih misterius, tapi Edi dijatuhi hukuman penjara.

Rentetan kasus peledakan beberapa kantor BCA itu menyeret tokoh-tokoh Petisi 50, seperti H.M. Sanusi, A.M. Fatwa (keduanya dipenjara, saksi-saksi mengaku disiksa), dan H.R. Dharsono.

24 Desember 1984:
Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Jalan Margono, Malang, Jawa Timur. Tidak diketahui siapa pelakunya.

20 Januari 1985:
Candi Borobudur di Jawa Tengah tak luput dari sasaran ledakan bom. Pelakunya adalah seorang mubalig, Husein Ali Alhabsy yang juga dilatar-belakangi motif protes terhadap peristiwa Tanjungpriok 1983. Husein menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawad, yang tidak tertangkap, sebagai dalangnya. Pada awalnya, Husein mendapat ganjaran penjara seumur hidup. Tapi kemudian mendapatkan grasi dari pemerintahan Habibie pada 23 Maret 1999.

16 Maret 1985:
Bus Pemudi Ekspress di Banyuwangi, Jawa Timur. Pelakunya adalah Abdulkadir Alhasby, anggota majelis taklim. Kasus ini juga dikaitkan dengan peledakan Candi Borobudur yang juga memprotes peristiwa Tanjungpriok 1983. Bahan peledak yang digunakan adalah TNT batangan PE 808/tipe Dahana.

14 Mei 1986:
Terjadi hampir bersamaan di Wisma Metropolitan di Jalan Sudirman, di Hotel President di Jalan Thmarin dan di Pekan Raya Jakarta. "Brigade AntiImperialis Internasional" di Jepang mengaku bertanggung jawab.

Juni 1986:
Terjadi serangan roket ke Kedutaan Amerika, Jepang dan Kanada yang diluncurkan dari kamar 827 Presiden Hotel di Jalan MH. Thamrin.

13 September 1991:
Ledakan bom di Mragen-Demak, Jawa Timur. Ketika itu, Xanana Gusmao sebagai pemimpin perjuangan Timor Leste menyatakan bertanggung jawab atas terjadinya ledakan yang diduga dilakukan oleh tiga pemuda Timor Leste.

30 September 1991:
Hotel Mini Surabaya. Pelakunya tidak diketahui. Bahan peledak yang digunakan adalah potassium -biasa dipakai untuk membom ikan.

13 September 1997:
Mranggen, Demak, Jawa Tengah yang dilakukan tiga pemuda Timor Timur dari kelompok prokemerdekaan Timor Timur. Bom meledak tidak sengaja. Tokoh Tim-tim Xanana Gusmao menyatakan bertanggung jawab atas peledakan itu. Tapi, tidak ada tersangka yang tertangkap.

18 Januari 1998:
Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta. Walau bom meledak tidak disengaja, Agus Priyono, anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) -salah satu jaringan Partai Rakyat Demokrat-, dipenjara tujuh bulan lebih, karena dianggap mengetahui rencana pemboman tapi tidak melaporkannya ke pihak berwajib. Kasus ini sempat menyeret nama Sofjan dan Yusuf Wanandi serta Surya Paloh, yang semuanya membantah terlibat. Tapi, tidak ada dari tokoh itu yang diajukan ke pengadilan.

20 Februari 1998:
Kampung Batik Sari, Semarang.

7 Agustus 1998:
Kedutaan besar Amerika di Nairobi, Kenya dan di Darus Salam, Tanzania yang disinyalir dilakukan teroris yang punya hubungan dengan Al-Qaida dan Osama bin Laden. Peristiwa itu menewaskan 223 orang dan melukai 4.000 orang. Sebagian besar dari mereka yang terbunuh dan terluka dalam tiga pemboman itu adalah warga Kenya dan Tanzania.

11 Desember 1998:
Atrium Plaza Senen, Jakarta. Pelaku tertangkap pada akhir 1999, sewaktu terjadi ledakan bom di Ramayana, Jalan Sabang. VM Rosalin Handayani dan Yan Pieterson Manusama disangka sebagai pelaku dengan motif usaha dagang. Bahan peledak berbau belerang.

2 Januari 1999:
Toserba Ramayana, Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah V.M. Rosalin Handayani dan Yan Pieterson Manusama, pengusaha yang dilatar-belakangi motif sengketa pribadi. Bahan peledak bom adalah TNT.

9 Februari 1999:
Mal Kelapa Gading, Jakarta. Siapa pelaku dan apa motif bom yang berbahan peledak TNT itu, tidak diketahui.

15 April 1999:
Plaza Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Pelakunya adalah Ikhwan, Naiman, Edi Taufik, Suhendi, dan Edi Rohadi, anggota kelompok yang disebut-sebut sebagai Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN) pimpinan Eddy Ranto. Motif pemboman adalah kriminal (perampokan). Kelompok AMIN ini juga dituduh meledakkan Istiqlal. Anehnya, dalam kasus ini, motifnya diputuskan sebagai kriminal. Bahan peledak ramuan KCl03 (kalium klorat) dan TNT.

19 April 1999:
Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah Eddy Ranto alias Umar, 40 tahun yang juga diduga sebagai otak perampokan Bank BCA Taman Sari, Jakarta dan peledakan satu wartel di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, beberapa pekan sebelumnya. Sayangnya, kasus ini tetap menjadi misterius, lantaran belum tuntas. Bahan peledaknya sama dengan kasus Hayam Wuruk. Bahan peledaknya, TNT (trinitrotoluene) dan KCLO3 (kalium chlorat).

28 Mei 2000, bom di GKPI Medan

4 Juli 2000
Lokasi: Gedung Bundar Kejaksaan Agung Jakarta
Tidak ada korban
Pelaku: Said Adnan (buron)
Jenis bom: rakitan dari nitrat, minyak tanah, dan TNT

22 Juli 2000, bom Gereja Santa Anna Jakarta.

1 Agustus 2000
Lokasi: kediaman Dubes Filipina Leonides T. Caday, Jl. Imam Bonjol, Menteng Jakarta
Korban: 2 tewas, 21 luka-luka
Jenis bom: TNT

20 Agustus 2000, bom di depan gereja GKRI Medan

20 Agustus 2000, bom di depan GKII Medan

27 Agustus 2000
Lokasi: halaman Kedubes Malaysia, Jl. Rasuna Said, Kuningan Jakarta
Tidak ada korban
Pelaku: Iwan Setiawan alias Husen (penjara 6 tahun 4 bulan) dan Saifan Nurdin (penjara 6 tahun 4 bulan), M. Mudin (8 tahun), dan Praka Ibrahim Hasan (seumur hidup)
Jenis bom: granat tangan

27 Agustus 2000, bom di rumah pendeta Sitorus Medan

13 September 2000
Lokasi: lantai parkir Gedung Bursa Efek Jakarta, Jl. Sudirman Jakarta
Korban: 10 tewas, 90 luka-luka
Kerugian: 161 mobil rusak berat dan ringan, sarana gedung rusak
Pelaku: Tengku Ismuhadi (penjara seumur hidup), Iwan Setiawan (8 tahun), Saifan Nurdin (8 tahun), dan M. Mudin (8 tahun), Praka Ibrahim Hasan (seumur hidup), Irwan bin Ilyas (seumur hidup), Ibrahim Abdul Wahab
Jenis bom: TNT (5 kilogram)

14 Oktober 2000, bom di perusahaan tambang PT New Month, Sumbawa

12 November 2000, bom di gedung ISTP Dharma Agung Medan

24 Desember 2000, tercatat 24 kasus pengeboman mulai dari Medan sampai Mataram, kecuali Jawa Tengah dan DIY yang tersebar dalam 15 kota, antara lain Medan, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Sukabumi, Pangandaran, Mojokerto, Jawa Timur, dan NTB.

Rangkaian ledakan bom pada malam Natal di Jakarta dan berbagai tempat lain yang menyebabkan 17 tewas dan sekitar 100 orang cidera.

Khusus Bom Natal Jakarta :

Pukul 19.50 : Gereja Koinonia, Jl Matraman Raya , Jakarta Timur; 3 luka
Pukul 20.30 : Gereja Anglikan, Jl Arif Rahman Hakim, Jakarta Pusat
Pukul 20.45 : Gereja Oikumene, Halim PK, Jakarta Timur
Pukul 21.00 : Gereja Katedral, Jakarta Pusat; 5 luka
Pukul 21.00 : Gereja Santo Yosef Jl Matraman Raya, Jakarta Timur; 3 meninggal, 8 luka
Pukul 21.10 : Jl Menteng Raya,dekat Gereja Kanisius, Jakarta Pusat

24 Desember 2000
Peledakan Di beberapa Gereja di Jakarta
Belum diketahui
Belum diketahui
4 orang tewas dan 42 orang luka-luka

24 Desember 2000
Ledakan didaerah pertokoan Cicadas dan di Jl. Terusan Jakarta No. 43
Belum diketahui
Tersangka :
Aceng - Iqbal - Piping - Abdul Hadi - Maman - Nanang Hamdani - Karso - Otang - Ayat - Nana Suryana - dan Effendi.
Belum diketahu

24 Desember 2000
Jl Otto Iskandardinata Kodya Sukabumi.
Belum diketahui
Tersangka : Musa alias Mahfud alias Jabir alias Anis (38) - Umar (44)
3 orang meninggal dunia dan 11 orang terluka

24 Desember 2000
Gereja Pantekiosta Sindang Kristus di Jl Masjid No.20 Alun-alun Utara Sukabumi.
Belum diketahui
Belum diketahui
4 orang meninggal dan 8 terluka

24 Desember 2000
Gereja Allah Baik - Jl. HOS Tjokroaminoto - Mojokerto
Belum diketahui
Belum diketahui
Tidak diketahui

24 Desember 2000
Gereja St. Yosef Jl. Pemuda Mojokerto.
Belum diketahui
Belum diketahui
1 orang meninggal dan 2 orang terluk

24 Desember 2000
Gereja Ebenezer - Jl. Kartini - Mojokerto
Belum diketahui
Belum diketahui
1 orang meninggal dan 2 orang terluka

24 Desember 2000
Gereja Bhetany Mojokerto.
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

24 Desember 2000
Pekuburan Kristen Kapitan Ampenan - Mataram - NTB
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

24 Desember 2000
Gereja Betlhem Pantekosta Pusat Surabaya (GBPPS) - Mataram NTB
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahu

24 Desember 2000
Gereja protestan Indonesia Barat Imanuel Jl Bung Karno - Mataram - NTB.
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

24 Desember 2000
Gereja Katolik Beato Damian - Bengkong Batam.
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

24 Desember 2000
Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Sungai Panas Batam
Belum diketahui
Belum diketahui
21 orang terluka

24 Desember 2000
Gereja BethanyMart Batam Center - Batam Lantai II Gedung My
Belum diketahui
Belum diketahui
4 orang terluka

24 Desember 2000
Gereja Pantekosta di Indonesia Pelita. Jl Teuku Umar (Atas) Batam
Belum diketahui
Belum diketahui
2 orang terluka

24 Desember 2000
Gereja HKBP Pekan Baru Jl. Hang Tuah - Pekanbaru
Belum diketahui
Belum diketahui
5 orang tewas dan 12 orang terluka

24 Desember 2000
Jl. Sidomulyo - Pekanbaru
Belum diketahui
Belum diketahui
9 orang terluka

25 Desember 2000
Bangunan rumah Pendeta El Imanson Sumbayak Jl Kasuari Pematang Siantar.-
Belum diketahui
Tersangka Edi Sugiarto
1 Orang terluka

25 Desember 2000, bom di rumah pendeta L I Manson, Medan

26 desember 2000
Gereja Yohannes Penginjil Kudus
Belum diketahui
Belum diketahui
Belum diketahui

Januari 2001: Bom rakitan di satu mobil di Pasar Minggu, Jakarta. Selain itu, Taman Mini Indonesia Indah juga sempat digegerkan ledakan bom yang dilakukan Elize M. Tuwahatu.

Maret 2001: Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta. Sementara itu, ledakan bom juga terjadi di jembatan kereta api Cisadane, Serpong, Tangerang.
April 2001: Di Jalan Percetakan Negara, Jakarta.

10 Mei 2001: Di bangunan Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda, di Jalan Guntur, Jakarta Selatan. Tiga orang tewas, sebagian bangunan hancur.

Juni 2001: Di kamar kos di kawasan Pancoran, Jakarta. Berselang hanya dua pekan, di Cikoko, di kawasan Pancoran juga, ledakan bom kembali terjadi.

Juli 2001: Gereja Santa Anna, Pondok Bambu, Jakarta. Ledakan mencederai puluhan orang. Hanya sehari berselang, ledakan bom kembali terjadi di Jalan Semarang, Menteng, Jakarta, dan melukai satu orang.

Agustus 2001: Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai enam orang. Kedua pelaku peledakan, Edi Setyono alias Abbas dan Taufik bin Abdul Halim dihukum hukuman mati oleh PN Jakarta Pusat.

23 September 2001: Lantai parkir Atrium Plaza, Senen. Ledakan menghancurkan beberapa mobil, walau tidak ada korban jiwa.

2001: Asrama haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan.

2002: Restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) dan restoran McDonald’s di Sulawesi Selatan.

1 Januari 2002: Di depan rumah makan ayam Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Seorang pelaku, Hasballah tewas seketika di tempat kejadian. Bahan peledak yang digunakan yang digunakan adalah granat manggis K75 buatan Korea.

18 Januari 2002: Gardu PLN di depan bekas terminal Cililitan, Jakarta Timur. Sementara itu, di Palu, satu ledakan juga mengguncang tiga rumah ibadah. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Gereja Pantekosta di Indonesia dan Gereja Kristen Indonesia Sulawesi Selatan Jemaat Palu rusak akibat bom rakitan.

Maret 2002: Kantor Babinkum, Pulo Gebang, Jakarta.

9 Juni 2002: Di lahan parkir Hotel Jayakarta dan Diskotik Eksotis, Kota, Jakarta Barat. Pelakunya, Dodi Prayoko berhasil ditangkap polisi.

1 Juli 2002: Mal Graha Cijantung, Jakarta. Tujuh orang luka-luka dan tidak ada korban jiwa akibat ledakan itu. Polisi menangkap lima tersangka yang diyakini terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka yakni, Ramli. M. Nur, Mudawali, Muhamad Hasan Irsyadi dan Syahrul. Bom rakitan jenis low explosive itu terdiri dari campuran belerang, alumunium powder, potasium klorat, baterai, dan serpihan besi atau paku.

Oktober 2002: Bandung Supermall dan Istana Plaza, Bandung.

12 Oktober 2002: Tiga ledakan bom mengguncang Bali. Ledakan pertama dan kedua mengguncang kawasan di Jalan Legian, Kuta. Sedangkan ledakan lainnya terjadi di dekat kantor konsulat AS, Denpasar. Di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan meledak di pintu gerbang masuk kantor Konjen Filipina. Tidak ada korban jiwa.

Ledakan di Jalan Legian, mengakibatkan setidaknya 187 tewas dan 400-an lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan parah dalam radius 100 meter dari pusat ledakan. Polisi mengidentifikasikan bahwa ledakan berasal dari bom mobil yang diletakkan dalam Mitsubishi L300.

Sebagai peracik bahan-bahan kimia bahan peledak, Sarjiyo alias Sawad, dihukum seumur hidup oleh majelis hakim PN Denpasar yang juga menghukum Saad alias Mat Ucang 20 tahun penjara lantaran menyembunyikan Mukhlas alias Ali Gufron saat dalam pelarian. Hernianto dihukum 12 tahun penjara. Selain itu, kelompok Kalimantan, seperti Mubarok dihukum seumur hidup, Sukastopo tiga tahun, Imam Susanto empat tahun delapan bulan, Mujarot lima tahun, Hamzah Baya enam tahun, Eko Hadi P empat tahun enam bulan, Puriyanto empat tahun enam bulan, Firmansyah empat tahun, Syamsul Arifin tiga tahun penjara, Sofyan Hadi enam tahun, Sirojul Munir lima tahun, Sukastopo tiga tahun, Muhammad Yunus enam tahun.

Sementara itu, Ali Imron alias Ale -adik kandung Amrozi, dihukum seumur hidup. Imam Samudra dihukum hukuman mati lantaran secara bersama-sama dengan anggota kelompoknya melakukan aksi pemboman itu; secara bersama-sama menyiapkan dana untuk membiayai bom Bali. Ini berkaitan dengan perampokan toko emas 'Elita' di Serang, Banten, yang dananya digunakan untuk biaya bom Bali. Diantaranya, Rp. 20 juta yang diberikan kepada Amrozi untuk membeli bahan-bahan peledak, serta tambahan biaya membeli mobil Mitsubishi L-300; aktifitasnya sebagai tokoh penting dalam kasus bom Malam Natal di empat gereja di Batam 24 Desember 2000: Gereja Pante Kosta Pelita, Gereja GKPS Sei Panas, Gereja Betani May Mart, serta Gereja Beato Damian, di kawasan Bengkong Green; secara bersama-sama dan bersekutu atau masing-masing bertindak untuk dirinya sendiri dengan sengaja membakar atau menjadikan letusan yang dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang. Dalam peristiwa bom Batam, selain merusak gereja, juga menimbulkan korban manusia, 26 luka berat, serta 3 orang luka ringan

Di Manado, pada saat yang hampir bersamaan juga terjadi ledakan di depan kantor konsulat Filipina di Jalan Tikala. Pada peristiwa yang tidak menelan korban jiwa itu, polisi menangkap dua pelaku pemboman: Otje dan Idris.

5 Desember 2002: Mal Ratu Indah Makassar pada malam Idul Fitri. Tiga orang tewas dalam peristiwa itu. Enam belas orang ditetapkan sebagai tersangka, diantaranya, Agung Abdul Hamid, Mukhtar Daeng Lau, Usman, Masnur, Azhar Daeng Salam, Ilham, Hizbullah Rasyid, Dahlan, Lukman, Suryadi, Abdul Hamid, Iwal, Mirzal, Itang, Khaerul, dan Kahar Mustafa. Dua belas orang telah berhasil ditangkap polisi, empat orang lainnya yang masih buron adalah Agung Abdul Hamid, Dahlan, Mirzal dan Hizbullah Rasyid.

Januari 2003: Pangkalan bajaj di Jalan Jembatan Besi Raya Gang I, Tambora, Jakarta. Ledakan berasal dari bom Molotov yang dilemparkan ke pangkalan bajaj yang mengakibatkan sebuah bajaj terbakar. Bom itu terbuat dari botol bir isi bensin dan sumbu. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Sementara itu, ledakan bom rakitan terjadi dan mengenai dua polisi di jembatan besi Jorong Silawai, Kecamatan Airbangis, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat.

14 Januari 2003 : Ambon.

3 Februari 2003: Wisma Bhayangkari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Ledakan berasal dari sebuah bom rakitan yang dibuat dari pipa paralon sepanjang 11 cm dengan diameter 16 cm, ditutup dengan lempengan baja yang dilapisi dengan semen. Walau berkekuatan rendah, ledakan merusakan satu mobil dan menghancurkan bagian bagunan yang ada di Wisma Bhayangkari.Polisi menangkap tersangka pelaku pemboman, Ajun Komisaris Polisi Anang Sumpena. Tidak ada korban jiwa akibat ledakan itu.

1 April 2003: Bom mengguncang Medan. Kali ini terjadi lagi di jalur pipa milik PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Diperkirakan bom meledak pukul 03.00 WIB. Tak ada korban jiwa.

24 April 2003: Di jembatan Kali Cideng, belakang kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sasaran kemungkinan ditujukan ke kantor PBB. Bom rakitan itu terbuat dari besi yang panjangnya sekitar 33 sentimeter, dengan diameter sekitar 10 sentimeter, dan ketebalan pipanya sekitar 6,6 milimeter.Ledakan berkekuatan rendah. Tidak ada korban.

27 April 2003: Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu, tujuh orang yang merupakan satu keluarga menjadi korban ledakan. Lima di antaranya dirawat di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk PIK dan dua lainnya dirawat di RSU Tangerang. Ledakan berkekuatan rendah. Belum diketahui penyebab dan motif ledakan.

30 Juni 2003 : Di Pasar Aceh, Kota Banda Aceh. Sementara itu, satu bom lainnya dapat dijinakkan di satu rumah sakit umum Kota Banda Aceh. Tiga pedagang menderita luka terkena serpihan bom.

14 Juli 2003: Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak ada korban jiwa.

5 Agustus 2003: Hotel JW Marriott, Jakarta. Dengan bahan peledak, antar lain berupa CLO3, Almunium Fowder, TNT, Detanator dan Detonating Cord (sumbu peledak), bom menewaskan 13 orang, melukai 74 orang dan menghancurkan 22 mobil.

Menurut keterangan tersangka Amran Bin Mansur alias Andi Saputra, bahan peledak bom menggunakan sisa-sisa bom Malam Natal 2000 yang diselundupkan dari Fillipina Selatan sebelum 2000. Amran, pria kelahiran Pontian Johor Malaysia, merupakan anggota Jamaah Islamiyah yang berperan sebagai penyedia bahan peledak bom Malam Natal 2000. Amran mendistribusikan bahan peledak ke empat tempat pengeboman: gereja-gereja di Batam, Pekan Baru (Sumatera), Jawa dan Nusa Tenggara Timur.

Perintah tertinggi pengeboman Malam Natal itu ada di tangan Hambali alias Encep Nurjaman, pria Cianjur Jawa Barat yang ditangkap di Ayutthaha Thailand, 2003, oleh aparat intelijen Thailand. Hambali kemudian menunjuk penanggung-jawab eksekusi di empat tempat itu, dua di antaranya, Imam Samudera alias Kudama untuk Batam dan Idris alias Gembrot untuk Pekanbaru. Kepada para penanggung-jawab itulah, Amran menyerahkan bahan peledak. Selain bom, Amran juga menyerahkan enam senjata jenis revolver asal Malaysia: tiga untuk Batam dan tiga untuk Pekanbaru. Selepas itu, Amran kabur ke Malaysia, tapi kembali lagi ke Indonesia pada 2001. Lewat jalur ilegal, Amran dua kali keluar-masuk: Batam, Johor Malaysia, Nunukan Kalimantan Timur dan Manado, Sulawesi Utara.

Selain Amran, ada penyedia dana bernama Jabfar -juga warga Malaysia- yang berhasil ditangkap tim anti teror Mabes Polri di Desa Grinsing, Batang, Jawa Tengah, 5 Februari 2004. Jabfar inilah yang menuntun aparat untuk menangkap Amran.

Baik Amran maupun Jabfar sudah aktif dalam pengeboman di Indonesia sejak 1999. Tapi pada 2001, mereka sudah tidak aktif lagi. Jabfar adalah pengikut Pondok Pesantren Lukmanul Hakim milik Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Ustadz Abu Bakar Baasyir di Malaysia yang sudah dibubarkan. Amran dan Jabfar juga bekerja-sama dalam pengeboman Malam Natal 2000. Tapi selepas tugas, mereka berpisah dan kabur.

Terbukti terlibat dalam persiapan aksi pengeboman Hotel JW Marriott, Sardona Siliwangi bin Azwar, 23 tahun, dihukum sepuluh tahun penjara oleh majelis hakim PN Bengkulu. Sardona sendiri saat ini adalah mahasiwa semester satu Akademi Komputer swasta di Kota Bengkulu. Diperkirakan, sekitar 4 Januari hingga pelaksanaan pengeboman di Hotel JW Marriott 5 Agustus 2003, dirinya ikut bersama-sama menyimpan bahan peledak yang dibungkus enam kardus di kediamannya di Jalan Gedang Kilometer 6,5, Rt.1-Rw.01, nomor 43, Kecamatan Gading Cempaka, Bengkulu. Perbuatan terdakwa dilakukan bersama-sama dengan Asmar Latin Sani (pelaku bom bunuh diri), Noor Din Moh Top alias Isa, Dr. Azhari alias bahar, Moh. Rais alias Indra alias Iskandar alias Ryan Arifin, Toni Togar alias Indra Warman dan Mohammad Ihsan alias Idris alias Joni Hendrawan alias Gembrot alias Jo.

7 Agustus 2003: Di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Akibat ledakkan, Bachtiar alias Manto, 20 tahun, yang diduga kuat sebagai perakit bom itu tewas.

12 September 2003: Di daerah konflik Poso, Sulawesi Tengah. Ledakan bom mengakibatkan lima warga luka-luka.

8 November 2003: Bom mobil meledak dalam komplek ekspatriat Arab di Riyadh, Arab Saudi, menewaskan 17 orang dan 120 warga lainnya luka-luka.

15 November 2003: Di luar sinagoga di Istanbul, Turki, yang penuh terisi orang. Bom mobil menyebabkan 20 orang tewas dan 300 lainnya terluka.

20 November 2003: Istanbul, Turki. Bom bunuh diri menewaskan 27 orang dan 450 lainnya cedera.

5 Desember 2003: Di dekat perbatasan Rusia-Chechnya. Bom bunuh diri meledakkan kereta api, menewaskan 36 orang dan sekitar 150 orang lainnya cedera.

5 Desember 2003: Makassar, Sulawesi Selatan. Muhammad Tang alias Ittang (30) yang telah membantu pelarian otak bom Makassar, Agung Hamid, dihukum tujuh tahun penjara oleh PN Makassar, Sulawesi Selatan yang juga menghukum Suryadi Mas'ud (31) delapan tahun penjara. Selain itu, Khaerul alias Herul alias Mato (23) dihukum tujuh tahun penjara, Kaharuddin Mustafa lima tahun penjara lantaran ikut membantu dan memberikan kemudahan kepada tersanga Agung Hamid yang disebut-sebut sebagai otak peledakan. Imal Hamid, 35 tahun, dihukum enam tahun penjara lantaran menyembunyikan informasi pelaku tindak pidana terorisme, yaitu sudah tahu adanya bahan peledak berupa dua karung photasium dan satu karung TNT yang disimpan Agung Hamid (buron) di rumahnya, di Desa Garessi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru. Suriadi SPd, 32 tahun, dihukum tujuh tahun penjara.

9 Desember 2003: Di dekat gedung parlemen Rusia di Moskow. Akibat bom bunuh diri itu, belasan orang luka berat. Dua wanita pelaku pemboman ditemukan tewas.

Januari 2004: Di Medan, Sumatera Utara. Pelakunya adalah penjual mie Aceh dan anggota separatis Gerakan Aceh Merdeka: Sfd Bin Slm alias Fudin (30) dan AS alias Mamad (24), penduduk Samlantira dan Kecamatan Tanah, Aceh Utara.

Sementara itu, bom juga meledak di Kafe Samfodo Indah di Kota Palopo, Sulawesi Selatan dan mengakibatkan empat tewas dan dua orang lagi mengalami luka-luka. Pelakunya, Arman, Idil, Ahmad Rizal, Jeddi, Benardi dan Jasmin. Enam orang lainnya yang masih buron adalah Aswandi alias Aco bin Kasim, Ishak, Nirwan, Kahar dan Agung Hamid. Disinyalir, Agung Hamid juga tokoh utama peledakan bom di Mal Ratu Indah Makassar, 5 Desember 2002.

11 Maret 2004: Madrid, Spanyol. Ledakan bom menewaskan 200 orang. Tersangkanya, tiga warga Maroko dan dua asal India ditangkap, dan diyakini terkait dengan jaringan penjualan dan pemalsuan telepon seluler dan SIM Card. “Kemungkinan, kelima tersangka memiliki hubungan dengan kelompok radikal di Maroko,” kata Menteri Dalam Negeri Spanyol, Angel Acebes.

21 Maret 2004: Rumah milik nyonya Sugeng di Jalan Bhakti Abri Kampung Sindangrasa, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cimanggis Depok. Ledakan bom rakitan itu tidak memakan korban jiwa dan kerusakan berarti.

9 September 2004: Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI.

1 Oktober 2005: Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.

31 Desember 2005: Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.

11 Oktober 2006: Bom low explosive meledak di restoran A&W, Kramat Jati. Muhammad Nuh, tersangka, diduga hanya mencari sensasi.

6 Desember 2006: Ledakan sebanyak dua kali di dekat pintu masuk lapangan Sepak Bola Sintuwu Jalan Brigjen Katamso (Belakang RSUD Poso, Sulawesi Tengah). Jajaran kepolisian mengidentifikasi bahwa aksi terorisme di Poso itu dikendalikan dari Pulau Jawa. Hal itu disampaikan Karoresmin Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Brigjen Untung S Rajab, di Jakarta.

17 Juli 2009 : Ledakan bom di JW Marriott dan Ritz Charlton Jakarta, Pihak kepolisian merilis jumlah korban ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Jumlah korban tewas sebanyak 9 orang, sedangkan korban luka 53 orang.

Daftar pustaka:
dari beberapa sumber

Label:


Read more!